Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Istri Terlalu Mandiri, Bahaya!

20 Februari 2015   14:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:50 5154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_398149" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi : www.mixhealth.com"][/caption]

Suami dan istri itu bersifat "saling". Mereka menjadi utuh karena keduanya bersatu dalam ikatan cinta. Mereka berdua saling terikat satu sama lain, saling memerlukan satu sama lain, dan bahkan dalam beberapa sisi harus merasa saling tergantung satu sama lain. Maka ketika ada suami yang terlalu mandiri, semuanya diselesaikan sendiri, lalu apa fungsi istri? Demikian pula ketika ada istri yang terlalu mandiri, semuanya diselesaikan sendiri, lalu apa fungsi suami?

Suami bisa saja menyelesaikan sendiri semua keperluannya. Mencari nafkah, mencuci baju, menyiapkan sarapan, membuat kopi, membersihkan kamar tidur dan semua keperluan hidup lainnya. Seperti anak kos yang mengerjakan sendiri semua keperluan hidupnya. Namun jika ia selesaikan semuanya sendirian, lalu bagaimana perasaan istri yang tidak bisa memberikan bantuan apapun kepada suaminya? Bukankah ia akan merasa tersisih karena tidak ada yang bisa dikerjakan untuk sang suami?

Demikian pula istri bisa saja menyelesaikan sendiri semua keperluannya. Mencari nafkah sendiri, mencuci baju, menyiapkan sarapan, membuat teh, membersihkan rumah, mengasuh anak dan semua keperluan hidup lainnya. Namun jika ia selesaikan semuanya sendirian, lalu bagaimana perasaan suami yang tidak bisa memberikan bantuan apapun kepada istrinya? Bukankah ia akan merasa tersisih karena tidak ada yang bisa dikerjakan untuk sang istri? Ia tidak bisa merasa menjadi pahlawan bagi istrinya.

Maka, semandiri apapun para istri, sisihkan ruang dalam diri anda untuk tergantung kepada suami. Sehebat apapun diri para istri, sisihkan ruang kemanjaan dalam diri anda untuk dipenuhi oleh suami. Para istri tidak boleh berprinsip “aku bisa mengerjakan semuanya sendiri”, walaupun kenyataannya anda memang bisa. Batasi kemandirian anda. Karena hal ini akan membuat anda berada pada posisi saling asing dengan suami. Ketika suasana saling asing, tidak merasa saling memerlukan, tidak merasa saling tergantung sudah mulai muncul antara suami dan istri, mereka akan semakin menjauh satun dengan yang lain.

Hubungan akan semakin renggang karena keduanya merasa bisa menyelesaikan urusan dan keperluan masing-masing. Ada kekosongan dalam jiwa suami, yang merasa tidak bisa menjadi superhero bagi keluarganya. Ada kekosongan dalam jiwa istri, yang merasa tidak diperlukan oleh suami. Kekosongan ini bisa membahayakan kebahagiaan keluarga, karena berpeluang diisi oleh yang lain. Karena ada kekosongan, maka suami dan istri berusaha mencari pemenuhannya. Di sisi lain, ada seseorang yang bersedia memenuhi kekosongan jiwa tersebut. Jadilah perselingkuhan.

Yang dimaksud mandiri bukannya merasa tidak memerlukan suami. Bukan merasa lebih hebat dari suami sehingga anda meremehkan dan melecehkannya. Walaupun kenyataannya anda memang hebat. Berbeda antara hebat dengan merasa hebat. Walaupun anda memang hebat, jika selalu merasa hebat dan selalu merasa lebih hebat dari suami, justru akan memunculkan jarak yang memisahkan hubungan dengan suami. Apa gunanya kehebatan anda jika justru membuat tidak bahagia dalam kehidupan keluarga?

Apalagi kehidupan suami istri itu bukan untuk bertanding dan bersaing dalam soal kehebatan atau kelebihan. Jika memang istri hebat, mestinya bisa mengormati suami. Walaupun karier istri lebih hebat dari suami, penghasilan istri lebih banyak dari suami, jabatan istri lebih tinggi dari suami, posisi istri lebih terkenal daripada suami, namun tidak berarti istri boleh bersikap arogan di hadapan suami. Bahkan suami yang memiliki banyak kekurangan dan kelemahan sekalipun, para istri tidak boleh menghina dan melecehkannya.

Para istri hendaknya menyediakan ruang dalam dirinya untuk memiliki sisi ketergantungan dengan suami. Merasa memerlukan suami untuk membantu menyelesaikan berbagai urusan hidupnya. Dengan cara itu istri telah meletakkan suami sebagai sosok pahlawan dalam keluarga yang berjasa memberikan bantuan yang diperlukannya. Jiwa kepahlawanan dan rasa tanggung jawab suami menjadi terekspresikan, dan itu membuat suami lebih semangat, lebih giat, lebih memiliki tekat untuk maju dan berkembang.

Suami istri itu harus merasa saling tergantung satu dengan yang lain. Karena justru dengan itulah mereka berdua bisa menikmati indahnya kebersamaan. Bukan bersaing, bukan bermusuhan, bukan rival, bukan bertanding. Namun saling membantu, saling memberi, saling tergantung, dan saling melengkapi. Alangkah indahnya kebersamaan dalam cinta dan kasih sayang.

Hormati dan Muliakan Posisi Suami

Dalam kehidupan berumah tangga, ada posisi yang jelas pada setiap anggotanya. Telah dibahas dalam bagian sebelumnya saat membahas karakter istri salihah yang harus mentaati suami, bahwa suami adalah pemimpin dalam keluarga, atau kepala keluarga. Sebagai pemimpin ia harus ditaati dan dipatuhi, selama tidak dalam konteks maksiat atau kejahatan dan pelanggaran. Kepemimpinan suami adalah kepemimpinan cinta, kasih dan sayang. Kepemimpinan dalam bingkai sakinah, mawadah wa rahmah.

Kendati ada posisi yang berbeda antara suami sebagai kepala keluarga dengan istri sebagai pengelola kerumahtanggaan, namun mereka adalah mitra yang saling membutuhkan, saling menguatkan, saling tergantung satu dengan yang lainnya. Kendati ada hirarki karena suami sebagai pemimpin, namun suami tidak boleh sewenang-wenang terhadap istri. Suami harus bersikap lembut, bijak dan santun terhadap istri. Karena posisi seperti inilah, suami layak dihormati dan dimuliakan.

Seruan modernitas yang mengajak suami dan istri memiliki kesetaraan dan kesamaan posisi, kadang justru membuat ketidakjelasan dalam manajemen keluarga. Karena pengaruh arus demokrasi, demokratisasi, kesetaraan gender, dan isu-isu modernitas lainnya, seakan-akan mengajak kita meninggalkan nilai-nilai yang dianggap kuno dan tradisional. Padahal dalam nilai-nilai tradisional tersebut, terkandung filosofi yang sangat dalam, yang bisa jadi tidak dimiliki oleh pemikiran modern yang serba rasional.

Relasi antara suami dan istri, antara yang memimpin dengan landasan cinta dan yang patuh dengan landasan cinta pula, menempatkan mereka berdua dalam hirarki cinta. Ada yang memiliki otoritas kepemimpinan dan ada yang memiliki kepatuhan, semuanya dalam bingkai cinta kasih. Bukan kesewenangan, bukan kezaliman, bukan kediktatoran. Dalam relasi seperti ini, terdapat kejelasan manajemen dalam keluarga, yang membuat semua pihak merasa nyaman dan bahagia.

Nadia Felicia melaporkan hasil sebuah studi di Praha, Cheko, yang menunjukkan bahwa pasangan suami istri akan cenderung lebih bahagia dan memiliki lebih banyak anak bila salah satu dari keduanya bersifat dominan dalam kehidupan keluarga.Pasangan yang salah satunya berkepribadian dominan dan yang lain bersikap penurut,diyakini bisa membantu mempercepat meredakan pertengkaran sekaligus mempermudah kerja sama di antara mereka berdua.

Penelitian dari Charles University di Praha tersebut melibatkan 240 lelaki dan perempuan sebagai responden. Hasil penelitian menunjukkan, lebih banyak keluarga yang orangtuanya terdiri dari satu dominan dan satu penurut. Jumlah orangtua yang sifat hubungannya mengutamakan kesetaraan tergolong jarang.

Biasanya masyarakat yang terpengaruh modernitas berpendapat,sebuah keluarga yang salah satunya bersikap dominan dan yang lain bersikap penurut dianggap tidak baik untuk kelanggengan hubungan. Hal itu dianggap sebagai bentuk kekolotan sikap dan terlalu tradisional. Namun, temuan dari penelitian tersebut justru menunjukkan hasil yang sebaliknya.Kesetaraan hubungan tidak selalu mengarah kepada kelanggengan dan kebahagiaan hubungan. Ide tentang kesetaraan posisi suami istri ternyata justru membuat mudah memicu konflik yang sulit diredakan.

Para peneliti menyatakan, sikap salah satu pihak yang bersikap dominan dan satu lagi bersikap penurut, cenderung menciptakan kohesi dalam hubungan. Hal ini melahirkan tindakan kooperatif di antara suami dan istri, serta meningkatkan kemampuan pasangan tersebut dalam mengatasi tantangan yang menghadang.Penelitian ini juga menunjukkan, tekanan berlebihan terhadap masyarakat modern agar pasangan selalu menjunjung kesetaraanbisa mengakibatkan penindasan.

Pasangan yang kedua pihaknya memiliki sikap keras dan kepribadian yang keras cenderung menghasilkan jumlah anak yang sedikit. Para peneliti juga menemukan, di dalam hubungan yang menjunjung tinggi kesetaraan, konflik kecil pun bisa meningkat dan menjadi besar akibat ada kompetisi yang tidak disadari. Akhirnya keluarga yang mengagungkan kesetaraan justru lebih mudah dilanda konflik dan ketegangan, dan sulit mencapai kebahagiaan.

Maka, jangan terlalu mandiri dalam kehidupan berumah tangga. Sehebat apapun para istri, tetap harus memberikan ruang ketergantungan kepada suami dan menempatkan suami sebagai pemimpin yang ditaati dalam cinta dan kebaikan. Ini yang akan melanggengkan pernikahan.

[caption id="attachment_398150" align="aligncenter" width="448" caption="ilustrasi : www.ehow.com"]

1424390659568700272
1424390659568700272
[/caption]

Bahaya Istri Terlalu Mandiri

Istri yang terlalu mandiri, bisa memicu munculnya perselingkuhan. Sebuah survei yang dilakukan oleh General Social Survei dari National Opinion Research menemukan data yang mengejutkan. Ternyata, sekarang ini jumlah istri yang berselingkuh meningkat pesat, sedangkan jumlah suami yang melakukan perselingkuhan terbilang stabil. Peningkatan jumlah istri yang berselingkuh sebanyak 15 % menjadi 30 %, sedangkan jumlah suami yang selingkuh tercatat masih konsisten pada kisaran angka 21 %.

Menurut Patricia Johnson dan Mark Michaels, pakar hubungan dan pernikahan, hal ini disebabkan oleh karena kemampuan kaum perempuan dalam menopang hidup secara finansial yang semakin meningkat. Kondisi ini membuat kaum perempuan merasa mandiri dan tidak memerlukan peran laki-laki untuk mencukupi kebutuhan nafkah mereka. Penghasilan kaum perempuan yang mengalami peningkatan pesat dibandingkan 20 tahun yang lalu ini, membuat mereka merasa lebih mandiri dan tidak bergantung pada suami. Situasi seperti ini membuat mereka tidak terlalu mengkhawatirkan perceraian.

Temuan ini sejalan dengan hasil survei yang dipublikasikan oleh American Academy of Matrimonial Lawyers Chicago. Mereka menemukan, pernikahan yang kandas akibat perselingkuhan, umumnya dikarenakan perselingkuhan dari pihak istri. Selama ini stereotip yang muncul dalam konteks perselingkuhan adalah pihak laki-laki atau suami yang paling banyak melakukan perselingkuhan. Namun data ini memberikan informasi baru kepada kita tentang peningkatan jumlah perselingkuhan  dari kalangan istri.

Survei terhadap 2.000 pasangan di Inggris juga menunjukkan hasil serupa. Seperempat responden perempuan atau 25 % pernah berselingkuh, sedangkan 28% tergoda untuk melakukannya.Penelitian lain dilakukan oleh sebuah majalah perempuan terbitan Australia terhadap 615 perempuan berusia di atas 18 tahun. Hasilnya cukup mengejutkan, 1 dari 5 perempuan Australia berselingkuh. Menurut survei ini, perempuan dengan tingkat ekonomi relatif tinggi lebih rentan terhadap perselingkuhan dibanding perempuan dari kelompok sosial ekonomi rendah atau yang tidak memiliki pendapatan sendiri, termasuk ibu rumah tangga.

Menurut Michael Mary, peneliti asal Jerman dan penulis buku Die Glucksluege,meningkatnya jumlah perempuan yang berselingkuh disebabkan oleh perubahan motivasi mereka untuk menikah. Dulu perempuan menikah karena ingin mendapatkan jaminan finansial. Kini, ketika mereka punya peluang berkarier lebih besar, mereka dapat memenuhi sendiri kebutuhan hidup, termasuk dalam kebutuhan finansial. Karenanya bagi mereka, perkawinan lebih dilandasi oleh kemurnian perasaan cinta terhadap pasangan, bukan karena pertimbangan eknomi atau finansial.

Pendapat Mary ini sejalan dengan hasil penelitian majalah perempuan Australia, bahwa perempuan karier yang punya penghasilan cukup umumnya menikah bukan demi status sosial atau jaminan finansial. Inilah yang menyebabkan kaum perempuan tidak khawatir dengan perceraian karena mereka merasa bisa hidup mandiri tanpa tergantung kepada suami. Mereka menjadi istri yang terlalu mandiri, merasa tidak tergantung dengan suami. Mereka merasa bebas menentukan langkah hidupnya sendiri tanpa harus mendialogkan dengan suami.

Mandiri itu baik, tetapi terlalu mandiri justru menjadi masalah tersendiri. Maka, selalu sediakan ruang dalam diri anda untuk tergantung kepada pasangan, agar ia mengisinya.

Bahan Bacaan :

Nadia Felicia, Pasangan dengan Satu Pihak yang Dominan Lebih Langgeng, dalam http://www.beritasatu.com/gaya-hidup/247687-studi-pasangan-dengan-satu-pihak-yang-dominan-lebih-langgeng.html

Shinta Kusuma, Mengapa Wanita Berselingkuh? dalam www.pesona.co.id/relasi/keluarga/mengapa.wanita.berselingkuh/003/001/64

https://teknologitinggi.wordpress.com/2014/07/30/jumlah-istri-yang-selingkuh-semakin-meningkat/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun