Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika "212" Menyatukan Kembali Ayah dengan Anaknya

15 Mei 2018   12:03 Diperbarui: 17 Mei 2018   12:35 1582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: (dok. Warna Pictures)

Rahmat merasa sebagai anak yang tidak diharapkan orang tua. Mungkin sebenarnya memang seperti itu kejadiannya. Akan tetapi sepertinya Rahmat terlalu berlebihan dalam kekecewaan terhadap ayahnya yang dianggap telah membuang dirinya ke "penjara". 

Rahmat mengira sudah tidak ada tempat bagi dirinya di hati sang Ayah yang kecewa dengan kelakuannya. Maka dengan jerih payah dan usaha sendiri, ia berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di Harvard University, bahkan berhasil menjadi lulusan terbaik. Di titik ini, Rahmat ingin orang tuanya bisa bangga dengan prestasi yang diraihnya. Namun ia tidak mendapatkan itu. Menurut Rahmat, sang Ayah tidak berbangga.

(dok. Warna Pictures)
(dok. Warna Pictures)
Kekecewaan Rahmat semakin menumpuk saat mengetahui ayahnya memimpin aksi longmarch ke Monas. Dalam situasi sudah tua dan sakit-sakitan, Kiai Zainal bertekad ikut jalan kaki dari Ciamis sampai Monas. Ini bukan saja membuat kesal Rahmat lantaran kenekatan sang ayah, namun juga karena bertentangan dengan ideologi yang diyakini Rahmat. 

Dengan segala cara Rahmat berusaha menggagalkan keberangkatan sang ayah, namun Kiai Zainal tidak bergeming. Ia tetap ikut dalam barisan longmarch lebih dari 300 km dari Ciamis menuju Monas.

Saat rombongan longmarch tiba di Tasik, sudah disambut dengan sangat baik oleh warga masyarakat yang menyiapkan tempat istirahat serta makan dan minum bagi rombongan yang dipimpin oleh Abrar (Hamas Syahid). 

Ada dialog sangat menarik dari tokoh agama di Tasik yang menyambut kedatangan rombongan longmarch tersebut, dengan Kiai Zainal. Digambarkan anak sang tokoh yang belajar agama dari Timur Tengah dan menjadi kebanggaan sang ayah. Di depan Rahmat, Kiai Zainal memuji-muji anak tersebut yang telah menjadi anak salih. Rahmat merasa semakin tidak diterima oleh sang Ayah.

Konflik ayah dan anak mewarnai sepanjang durasi film ini. Hingga titik puncak konflik saat Rahmat memaksa ayahnya pulang karena tampak kelelahan saat sudah berada di tengah kerumunan massa aksi 212. "Sekaligus ayah lebih mementingkan ummat, memberi pencerahan untuk ummat, sekaligus gila penghormatan dari ummat. Namun apa yang ayah lakukan untuk anaknya sendiri, nol besar", ujar Rahmat. Dialog ini sangat menusuk perasaan sang ayah.

Peran Yasna (Meyda Sefira) sangat besar dalam ikut melunakkan hati Rahmat yang demikian keras. Dalam beberapa kali kejadian, Rahmat mendapatkan sikap kekerasan dari pihak yang mendukung aksi 212. Mereka menuduh Rahmat sebagai pengkhianat bahkan munafik. Bukan hanya orang luar, bahkan Abrar yang masih saudara Rahmat pun ikut menghadapi Rahmat dengan kekerasan fisik. Namun itu semua dilerai oleh Yasna yang berhasil menyadarkan mereka.

Apalagi saat di tengah gemuruh aksi 212, Rara (Echi Yiexcel), seorang jurnalis non muslim dari majalah Republik, teman kerja Rahmat, memberikan kesaksian yang sangat berbeda dengan pemikiran Rahmat. Selama ini Rahmat meyakini bahwa aksi 212 adalah perbuatan konyol yang dirunggangi kelompok politik untuk tujuan-tujuan penggulingan kekuasaan atau makar. Aksi tersebut merupakan bentuk radikalisme beragama, dimana agama dijadikan sebagai topeng dan alat untuk mencapai tujuan politik, sehingga berpotensi besar untuk menimbulkan kerusahan dan konflik dengan aparat. Terbayang akan ada banyak korban. Demikian yang dipikirkan Rahmat.

Namun ternyata aksi 212 berjalan damai. Bahkan rumput pun tidak diinjak. Tidak ada barbar, tidak ada kerusuhan dan kekerasan, tidak ada korban. Bahkan semua warga terlibat dengan sepenuh cinta, membagi makanan, minuman, saling membantu orang-orang yang sakit dan lemah. 

Sepasang pengantin nonmuslim yang akan melaksanakan pernikahan di gereja Katedral, bahkan dikawal oleh para peserta aksi 212. Ini semua membuka mata Rara, yang memberikan kesaksian kepada Rahmat betapa aksi 212 sangat jauh dari apa yang dipikirkan Rahmat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun