Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Menanti Terbitnya Peta Tunggal Sawit Nasional

19 Mei 2019   01:41 Diperbarui: 19 Mei 2019   02:04 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu masalah terbesar dalam pelaksanaan label ISPO adalah persoalan lahan. Pasalnya, salah satu syarat untuk mendapatkan sertifikat tersebut adalah terkait statu lahan yang tak masuk dalam kategori lahan haram pakai, seperti hutan lindung, hutan adat atau hutan konservasi.

Sehingga tidak jarang, satu perkebunan kelapa sawit yang sejatitinya miilik petani, namun oleh peta satu kementerian memasukkan lahan tersebut dalam hutan lindung atau konservasi, sehingga untuk mendapatkan status usaha sawit berkelanjutan tidak diperoleh akibat ketidaksamaan pemetaan tadi.

Hal sama juga terjadi di kelompok perusahaan-perusahaan besar, meski sudah mendapatkan amdal dan pengesahaan pengusaahaan hutan oleh sebuah kementerian atau lembaga, namun tak jarang, status tersebut tak berlaku oleh lembaga lainnya.

Maka seperti yang banyak muncul, penentuan kategori lahan yang sudah berubah menjadi lahan kelapa sawit kerap jadi masalah, lantaran banyak terjadi, status satu lahan  kerap diberi status status berbeda antara satu lembaga pemerintah dengan lembaga lainnya. Pada titik ini, Eropa dan sejumlah negara maju kerap masuk dan menuding sawit Indonesia sebagai biang deforestasi

Masalah-masalah  seperti inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa oleh dunia luar, LSM asing ISPO kerap tak dianggap layak sebagai cara pemerintah Indonesia dalam menjalankan prinsip-pirinsip usaha berkelanjutan.  Mereka menilai tak ada keseriusan oleh dalam negeri menjalankan usaha sawit berkelanjutan ini.  Padahal, masalahnya bukan pada ketidakseriusan pemerintah Indonesia. Titik pangkalnya berawal dari tidak adanya peta tunggal tentang status lahan yang dimiliki saat ini.

Untuk itu, moratorium pembukaan lahan baru kelapa sawit yang dikeluarkan oleh pemerintah melalu  Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi (moratorium) izin perkebunan sawit adalah salah satu solusi sementara.

Target berikutnya adalah menyelesaikan amburadulnya masalah ini dengam hadirnya satu peta kelapa sawit Indonesia.

Seperti diketahui, negara tujuan ekspor khususnya Uni Eropa menuding perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu penyebab deforestasi massal.

Maka, jika satu peta sawit nasional itu terwujud, menjadi bisa diketahui secara persis satu data luas perkebunan di seluruh Tanah Air. Tujuannya untuk menjamin penelusuran (tracing) produk sawit yang lebih akurat dan transparan dari hilir ke hulu sehingga produk sawit RI dapat diterima di luar negeri dan terbukti ditanam dengan mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability).

Rencananya, peta tunggal yang sedang dibuat oleh Kementerian Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, akan selesai Agustus mendatang.

Menurut Menteri Agraria/Kepala   Sofyan Djalil, pihaknya bersama sejumah  K/L seperti Kementerian ATR, Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sedang melakukan konsolidasi data melalui penyamaan metodologi supaya nantinya diperoleh satu data luas lahan perkebunan kelapa sawit yang sama di Tanah Air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun