Hingga saat ini, tak satu pihak pun dari para stake holder sawit tanah air yang tahu persis berapa  luas lahan perkebunan serta tonase produksi sawit di tanah air.  Meski  presiden Joko Widodo pernah berucap total produksi sawit Indonesia  saat ini tidak kurang dari 46 juta ton dan melibatkan 16 juta petani,  namun saat data tersebut dihadapkan kepada pelaku di lapangan serta pihak terkait, taka da yang berani memastikan datanya yang paling sahih.
Beragamnya data itu antara lain, Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) menyebut total lahan sawit Indonesia mencapai  13,7 juta hektar.  BPS menyebut mencapai 14 juta hektar, dan KPK menilai mencapai 20 juta Hektar.
Dari sisi lain,  data produksi pada 2018 tercatat 37,8 juta ton dan itu berbeda dengan Gapki  yang menyebutkan produksi mencapai 42 juta ton.
Perbedanaan data yang muncul tak lain tak bukan karena indutri ini berkaitan langsung dengan sejumlah Kementerian dan Lembaga pemerintah. Â Seluruhnya tentu memiliki tolok ukur dan metode sendiri dalam menghitung luas lahan, sehingga hasil yang keluar pun tidak sama.
Kondisi itu terjadi karena disukai atau tidak, kelapa sawit telah menjadi salah satu produk strategis Indonesia. Karena  dari agro industry ini  ada belasan jutaan petani yang menggantungkan hidup, karena merekalah penggerak produksi yang mencapai puluhan juta ton,dan secara langsung menjadi salah satu devisa utama ekspor non migas.  Maka menjadi lumrah tak satupun yang bisa menjawab secara meyakinkan apakah jumlah pabrik yang sudah beroperasi saat ini sudah mencukupi atau belum.
Saat ini ada sejumlah Kementerian dan Lembaga yang memiliki data tentang jumlah lahan, total produksi, maupun jumlah petani dan pekerja yang terlibat di dalamnya, mereka antara lain, Kementerian Pertanian (Petani), Â Kementerian Lingkungan Hidup (Hutan), Kementerian Perdagangan (Ekspor), Â hingga Kementerian Keuangan (Devisa). Â Jumlah keluaran data masing-masingnya taka ada yang sama persis atau mendekati. Â
Salah satu dampak langsung tak sinkronnya data tersebut adalah sulitnya BPDP-KS Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) selaku lembaga stabilitasi bisnis ini kesulitan menetapkan harga yang pas dan stabil dan tidak merugikan semua pihak, khususnya antara petani dengan pabrik maupun perantara diantara keduanya.
Karena dengan data seragam, maka kebijakan yang dibuat akan berjalan efektif, karena semua berdasarkan ukuran yang sama-sama telah disepakati. Ambil  contoh dengan lahan sawah dan produksi padi. Dengan total lahan yang diketahui secara pasti dan jumlah produksi yang didapat, pemerintah bisa berhitung dalam mengeluarkan kebijakan ekspor atau impor beras.
Contoh lain betapa ketidakserasian data justru  bisa jadi boomerang adalah, sebelum mendatangi Uni Eropa dalam negosiasi pembatalm RED II  Renewable Energy Directive II/ RED II),  Menteri Perekonomian Darmin Nasution  mengatakan jumlah petani yang tergantung dengan usaha ini tidak kurang dari 17 juta orang. Sementara Jokowi menyebut 16 juta orang. Maka saat bertemu perunding Eropa dengan mudah mengatakan data anda bohong, karena presiden anda berkata lain, dan kami juga punya data yang jumlahnya berbeda.
Untuk  itu sudah saatnya menempatkan lembaga Badan Pusat Statistik sebagai leading sector dalam masalah pendataan ini. Karena secara tools dan peralatan, lembaga tersebut menjadi ujung tombak ideal dalam menselaraskan data beragam yang sudah dimiliki selama ini.