Menulis di Kompasiana sebenarnya aktivitas yang sudah lama tak saya coba dalami lagi. Selama ini saya sangat nyaman menulis di sosial media terutama Facebook. Kenapa? Karena disana interaksi menjadi lebih mudah berhadapan dengan pembaca saya.Â
Namun bulan madu itu nampaknya makin terkikis dengan adanya standar komunitas yang makin ketat. Sedikit saja salah dalam memgucap eksistensi akun kita yang terancam. Dengan sedikit terpaksa saya memang harus dituntut untuk mudik lagi nih ke Kompasiana.Â
Ya saya rindu menulis lagi, bagi saya ini adalah aktivitas yang lebih murah daripada harus  berjibaku kepada ahli religi atau ahli kejiwaan. Ada beberapa hal yang perlu untuk diperbaiki dari kejiwaan saya, entah apa itu. Yang pasti saya seperti merasa untuk tidak layak diciptakan di dunia yang antah berantah ini. Dalam setiap usaha yang dilakukan selalu saja ada ketidakcocokan.Â
Dari menulis saya tidak pernah merasakan hal itu. Dia adalah sarana ekspresi sekaligus ruang bercengkrama.Â
Semua mungkin diawali dari tugas saat masih kelas dua SD. Saya selalu berhasil membuat kalimat yang lebih banyak dari teman-teman. Tugasnya adalah membuat kalimat dari satu kata. Saat itu bahkan saya bisa membantu teman-teman untuk mengerjakan tugasnya. Ya bahasa adalah pelajaran pertama mungkin yang saya cintai.Â
Seiring waktu hal tersebut terlupa, sampai di era sosial media. Dunia ini memberikan wahana dalam berolah bahasa. Memang bahasa cuma satu dari segelintir alat berkomunikasi di ruang virtual, namun harus diakui saha paling mahir disini.Â
Cukup dulu kali ya... Saya habis kata-kata lagi