Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selagi Kita di Atas Tanah, Sebelum Tanah di Atas Kita

20 Februari 2021   20:40 Diperbarui: 20 Februari 2021   20:47 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi di atas tanah. Gambar oleh Michael Gaida dari Pixabay

Syukur yang bertumpah-ruah, kiranya inilah yang bisa kita lakukan pertama kali ketika menghirup dan menghela nafas. Kita tidur, bangun, kerja, bermain, santai, dan kemudian tidur lagi adalah sejumput nikmat sederhana yang wajib untuk disyukuri, walaupun sekadar ucap alhamdulillah.

Biarpun begitu, nada-nada syukur yang kita iramakan dengan ikhlas dan penuh kerelaaan sesungguhnya telah memberikan kebaikan untuk diri kita sendiri. Apa itu? Adalah kelapangan dan keleluasaan hati.

Banyak orang bahagia, tapi akhirnya kebahagiaan itu malah jadi semu karena mereka lupa untuk bersyukur.

Uang mungkin banyak, tapi apalah daya jika hati ini masih terlalu sempit dan tak mau menyempatkan diri untuk bersyukur. Maka dari itu, usahakan agar perbuatan ringan ini tak boleh tinggal.

Mengapa tak boleh tinggal? Jawabannya sederhana. Kita hidup di dunia hanya sementara. Para ulama mengibaratkan bahwa umur manusia jaraknya hanya antara adzan dan iqamah. Sungguh hanya sebentar, bukan?

Alhasil, selagi kita di atas tanah, lantunan syukur tak boleh berhenti karena memang itulah kesempatan terbaik untuk menambah amal. Beda kisah bila tanah yang sudah di atas kita. Yang ada hanya penyesalan, dan kita tahu sendiri bahwa yang namanya sesal itu menyakitkan.

Jangan Pernah Berhenti Berbuat Baik

Terus berbuat baik walau diri ini belum baik? Ah, kalau kita berhenti di tengah jalan, artinya kita lebih peduli dengan persepsi orang dibandingkan diri sendiri. Terang saja, semua kata-kata orang hanyalah persepsi, dan semua persepsi hanyalah sudut pandang akal dan nafsu manusia saja.

Yang baik belum tentu dibilang baik, dan yang buruk bisa saja dibilang jadi baik. Artinya, kalaulah kemudian kita terlalu baper dengan kisah dan mulut-mulut hampa orang lain, bisa gawat!

Meskipun demikian adanya, satu hal yang pasti bahwa kebaikan selamanya tetaplah kebaikan sampailah hari kiamat tiba. Benar apa benar? Tentu saja. Tak ada alasan apapun yang bisa membantahnya.

Maka dari itu, sebagai seorang hamba yang rawan dosa dan kerap kali bersalah, kita jangan pernah berhenti untuk berbuat baik. Soalnya, perilaku kebaikan itu tidak bisa didapat dengan hanya bersekolah dari SD hingga profesor. Kebaikan adalah pembiasaan, dan kalau pembiasaannya baik, maka orangnya akan jadi baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun