Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jadi Guru, Mendingan Mengajar di Pelosok atau di Kota?

12 Juli 2020   23:52 Diperbarui: 13 Juli 2020   18:40 1802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Iqwan Alif dari Pexels.com

Mengajar di Pelosok

Murid-muridku di SD. Foto: Ozy V. Alandika.
Murid-muridku di SD. Foto: Ozy V. Alandika.
Apakah mengajar di daerah terpencil dan pelosok itu seru?

Tentu saja, sangat seru malah! Kalau dilihat dari kulit luarnya sekolah, barangkali orang-orang akan berpandangan bahwa mengajar di sekolah pelosok itu kurang seru karena minimnya fasilitas.

Internet hilang-timbul. Listrik ada di sekolah, itu sudah mujur. Fasilitas pembelajaran berbasis teknologi, kurang memadai. Bahkan, akses jalan menuju ke sekolah saja kadang masih ada yang hanya berupa jalan tanah. Saat hujan ia becek, saat kemarau ia berdebu.

Lah, kok sudah begini masih dianggap seru, sih!

Tentu saja seru. Sederhananya seperti di SD tempatku mengajar. Karena terbatasnya sinyal, guru-guru dan staf akan sibuk berkomunikasi satu-sama lain daripada memegang gawainya.

Karena terbatasnya fasilitas pembelajaran, guru-guru yang semangat akan mengajak anak-anak belajar di dekat kebun alias belajar di alam bebas. Metodenya pun tidak kalah kreatif daripada metode pembelajaran berbasis digital.

Dan yang lebih hebatnya lagi menurutku adalah, keramahan dan keaktifan anak-anaknya. Dulu, saat awal-awal aku tiba di SD, setiap siswa selalu berlarian berteriak memanggil-manggil namaku. Mereka bertanya bagaimana perjalananku, bagaimana kabarku, dan menyalamiku.

Guru mana yang tidak tersentuh bila setiap kali mereka mengajar akan diperlakukan seperti itu? Sudah jelas, pasti ada kebanggaan dan kegembiraan tersendiri di hati seorang guru. minimal, guru akan merasa bahwa ia sangat dihargai dan dianggap "ada" oleh siswa.

Meski begitu, keterbatasan tetaplah keterbatasan. Kesenjangan tetaplah kesenjangan. Meski tadi aku sempat menutup mata atas minimnya fasilitas pendukung pembelajaran, tetap saja ada tantangan besar sebagai imbas dari kesenjangan itu.

Misalnya, di saat rekan guru sebelah sibuk memanfaatkan berbagai aplikasi belajar daring berbasis teknologi, aku baru bisa mengaplikasinya sebatas webinar saja. ingin sebenarnya kucoba aplikasikan ke sekolahku. Mungkin beberapa tahun lagi, saat fasilitas telah tersedia.

Inilah tantangannya. Menantang sih, sebenarnya. Tapi, bila lama-lama dibiarkan terus senjang seperti ini, rasanya sangat menghambat. Maka dari itulah, kadang-kadang muncul juga pikiran bahwa seru juga bila kubisa mengajar di kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun