Upahnya paling-paling Rp2.500-3.000/cupak. Lumayanlah, untuk tambahan uang jajan Ambrosio sekaligus beli mercon gasing. Sama mercon korek satu lagi, murah meriah.
Namun, yang lebih seru bagi Ambrosio adalah saat menemani Ovic membuat gula aren. Terang saja, setiap kali gula aren kering dan produksinya mantap, Bro selalu dimintai tolong oleh Ovic untuk menjualkan gula aren ke warung.
Sayangnya dulu Ambrosio belum punya motor sehingga ia harus menenteng gula aren menggunakan bronang/sangkek gendong dari ladang hingga ke warung.
Cukup jauh jaraknya, kira-kira 30 menit jalan kaki dengan rintangan berupa bebatuan, tebing hingga jalan setapak yang becek. Tapi fee-nya lumayan, bisa untuk beli pempek bakar di simpang tiga setelah Tarawih. Kadang, bisa untuk main PS hingga beberapa jam juga.
Sekarang zamannya sudah beda, Ambrosio sudah memiliki pekerjaan yang cukup mantap, ditambah dengan kebun kopi sendiri. Ia datang mengunjungi Ovic karena ingin membeli beberapa kilogram gula aren, guna membuat cuka pempek.
"Ovic, berapo hargo gulo arennyo sekilo? Aku nak beli 5 kilo bae."
"Lagi dingin kini Bro, aku jual kek kau Rp15.000/kg bae"
Karena Ambrosio sudah akrab dengan Handanovic sejak kecil, akhirnya ia minta diskon. Terang saja, Ambrosio sudah jauh-jauh ke ladang demi menjalin silaturahmi sekaligus membeli gula aren.
"Oooi Handanovic, kek aku jual Rp10.000/kg bae lah! Ini duit Rp50.000 langsung aku bayar kini. Lunas! Oke, sip?"
Setelah membayar kontan, Ambrosio langsung memanaskan motor barunya sembari menunggu bungkusan gula aren.
Handanovic hanya memainkan kode mata tanda setuju. Ia segera mengambil beberapa tangkup gula aren, lalu menimbangnya di timbangan tua yang ia simpan di ladang.