"Ovic, cakmano produksi gulo aren kau, manis?"
"Entahlah, Bro. Semenjak puaso, aku dak pernah lagi nyicipnyo!"
Sejak corona melanda hinggalah hari ini, Handanovic masih terus kesusahan memproduksi gula aren. Entah apa yang merasuki air nira sejadinya di ramadan kali ini gula aren tak seindah dulu. Tambah lagi dengan fisik Handanovic yang mulai rimpuh, Ambrosio semakin kasihan.
Bagaimana tidak kasihan, Handanovic sudah banyak berkorban demi melanjutkan kehidupan. Karena tulang-tulang penegak badan sudah diragukan eksistensinya, Ovic terpaksa harus membeli kayu bakar. Maklum, ia tak mampu lagi menebang pohon aren dan johar sendirian.
Bisa dibayangkan jika kayu bakarnya sudah habis, sedangkan gula arennya tak mau mengering. Makin sedihlah sang Ovic. Mau makan apa anak-anak dan istri Ovic nanti.
Ambrosio yang sekarang sudah punya motor baru dan berprofesi sebagai tukang ojek pengangkut hasil kebun sebenarnya sudah sangat tahu dengan kesusahan yang dihadapi oleh Ovic. Mau dipandang dari sisi manapun, secara penghasilan Ambrosio masih unggul telak.
Banyak petani kopi dan sayuran yang memanfaatkan jasanya, terutama para Emak yang ladangnya cukup jauh dari akses jalan raya. Kalau sudah masuk musim panen, baik siang-malam dan petang, Ambrosio perjuangkan. Maka dari itulah, Bro merasa prihatin dengan Ovic.
"Duhai Ovic, kalo memang gula arennya dak mau kering-kering, kito bisnis tuak bae, cakmano?"
"Woooi, kau puaso dak, seh! Astaga bambang!"
Gara-gara ucapan Ovic, Ambrosio pun terdiam sejenak dan tiba-tiba saja ingat dengan masa muda saat bersama dengan Ovic di pondok pembuatan gula aren. Di bulan puasa, Ambrosio biasanya sering mampir ke pondok Ovic untuk mencungkil beluluk (kolang-kaling).