Smartphone rusak bisa diganti, baju sekolah koyak bisa beli lagi, tapi ini soal tulang dan otak yang tentunya sangat berharga dan menyangkut soal kelanjutan kehidupan seorang anak.
Untuk mempertegas aksi ini Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Edy Sumardi melarang masyarakat melakukan aksi yang mencelakakan seperti ini.
Edy menuturkan, jika terdapat korban jiwa dalam aksi tersebut dapat dikenakan tindak pidana. Menurut Edy, potensi adanya korban jiwa sangat besar.
"Dugaan Pasal 359 KUHP meninggalnya seseorang atau 360 KUHP akibatkan luka berat," ungkap Edy.
Mengingat begitu pentingnya himbauan ini, kiranya bisa berlaku untuk semua masyarakat di Indonesia. Agaknya adegan Skullbreaker Challenge ini lebih berakibat fatal dibandingkan tren tarik kursi yang dulu sempat sering dilakukan anak-anak.
Lagi-lagi ini tidak lepas dari pengaruh teknologi yang semakin canggih dan bermata tajam. Namanya juga anak-anak, dan mereka sudah pasti ingin cari perhatian, mengejar viewer dan segera viral.
Untuk itulah, agaknya sikap bertanggung jawab dan memberi rasa aman perlu kembali kita gaungkan kepada anak-anak. Setiap perbuatan yang merugikan dan mencelakakan pasti ada pidana dan tuntutan yang mengiringinya. Jangan sampai anak dekat-dekat dengan ini.
Skullbreaker Challenge bukanlah lelucon, bukan pula tren yang menghibur. Jujur saja, segala sesuatu yang mencelakakan bukanlah hal yang patut ditertawakan. Jika dengan hal itu banyak orang malah tertawa, perlu diperiksa tingkat kepeduliannya. Jangan-jangan sudah tercemar dan teracuni oleh hal-hal yang negatif.
Terakhir, mau tidak mau orangtua dan guru mesti lebih meningkatkan perhatian kepada anak-anak. Kita maunya anak-anak semakin cerdas dan naik kelas, bukan naik ke meja perawatan di rumah sakit.
Salam.