Setiap orang punya penilaian masing-masing dalam memandang orang lain, bahkan untuk dirinya sendiri. Ada dari mereka yang menilai orang lain dari sisi fisik, adapula yang menilai berdasarkan gaya bicara dan mimik wajah. Karenanya sering lahir penilaian "ini ganteng, itu kurang ganteng", "ini sombong, itu ramah", dan lain-lain.
Selain itu, adapula dari mereka yang menilai orang lain berdasarkan derajat atau pangkatnya di dalam ruang kerja maupun masyarakat. Darinya akan lahir pandangan bahwa "ini bos, itu babu", "ini majikan, itu pembantu", "ini PNS, itu Honorer", "ini orang dalam, itu anak kemaren sore", dan sebagainya.
Jika penilaian itu hanya sekadar "ganteng atau kurang ganteng", dan "sombong atau ramah", agaknya bukanlah suatu masalah besar dan fatal di hari kemudian. Orang lain juga bisa memaklumi, karena itu adalah bawaan lahir.
Seperti itu pula dengan gaya bicara atau sikap seseorang. Penilaian yang muncul seringkali karena "Si A suku B sedangkan Si X suku Z", atau "Si A tinggal di pasar, sedangkan Si B tinggal di desa".Â
Meskipun ujung-ujungnya berbau sukuisme, namun banyak dari kita yang "sangat bisa" menjaga toleransi dan saling mengerti tanpa ada ketersinggungan dalam hati.
Beda halnya jika kita hanya memandang seseorang dari derajatnya. Memang, tidak terpungkiri bahwa paradigma derajat ini sering muncul dan berlarian beberapa kali di pikiran. Terlebih lagi jika kita sudah punya gelar "pemimpin" dalam suatu instansi atau ruang kerja.
Pikiran itu bisa jadi adalah bentuk kepuasan diri dan penghargaan diri atas kerja keras dan usaha yang selama ini dilakukan. Karena munculnya di dalam hati, kita masih bisa untuk berkali-kali menyingkirkannya dan merendahkan hati.
Hanya saja, tidak semua orang mampu bersikap "rendah hati" atas amanah yang telah di anugerahkan Tuhan kepadanya. Darinya akan muncul sifat sombong dan angkuh, serta memandangan rendah bawahannya.
Lagi-lagi jika ini masih berlarian dalam hati, tak begitu masalah. Yang jadi masalah adalah mereka yang mengakui derajatnya lebih tinggi berbicara secara terang dengan orang lain, sekaligus menganggap orang lain rendah dari sisi pekerjaannya.
Tentu ini adalah bom asap yang dapat membuat mata dan hati para pekerja perih serta tergores. Jika kelamaan berasap, akan ada bahaya yang dapat mengakibatkan perang di ruang kerja.
Perang Umpatan