Mohon tunggu...
Oleh Solihin
Oleh Solihin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis beberapa buku untuk remaja, di antaranya Jangan Jadi Bebek (2002); Jangan Nodai Cinta (2003); LOVING You Merit Yuk! (2005); Yes! I am MUSLIM (2007); Jomblo's Diary (2010) dan beberapa buku lainnya | Instruktur Menulis Kreatif di Rumah Gemilang Indonesia [www.rumahgemilang.com] dan Pesantren MEDIA [www.pesantrenmedia.com] | Sekadar berusaha memberikan sedikit pengalaman hidup melalui tulisan. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi siapapun. Boleh juga kunjungi blog saya: http://osolihin.net. | website kepenulisan yang saya kelola: [www.menuliskreatif.com]

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reshuffle Kabinet: Solusi atau Problem?

19 Oktober 2011   03:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:47 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selasa malam (18/10/2011), Presiden SBY mengumumkan susunan menteri baru dalam kabinetnya. Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik, selain saat diumumkan itu saya sedang mengajar di kelas menulis online, juga bagi saya reshuflle itu tidak akan membawa perbaikan untuk mengatasi kondisi saat ini. Sebagaimana yang sudah kita ketahui hasilnya, beberapa menteri lama didelete (termasuk ada yang mengundurkan diri sebelum diumumkan reshuffle), dan posisinya digantikan dengan wajah baru (atau muka lama tapi mendudukan jabatan baru—hanya pergeseran posisi saja). Selengkapnya bisa di baca di sini.

Namun, jika menyimak fakta dalam reshuffle kali ini, justru kabinet ini tidaklah ramping. Makin tambun saja. Terbukti dengan penambahan beberapa wakil menteri dalam beberapa kementerian (ada 13 wakil menteri, ditambah dengan 6 wakil menteri yang sebelumnya sudah ditetapkan presiden, jauh sebelum reshuffle kali ini). Ini tidak saja membuat birokrasi diduga akan kian lambat, juga tidak efektif dan pemborosan anggaran negara (mana mungkin wakil menteri tidak digaji, pastilah ongkos transportasi dan uang makan haruslah ada, dan itu tentu saja di luar gaji dan tunjangan). Tetapi sepertinya sudah dikalkulasi oleh Presiden SBY untuk hal tersebut.

Namun terlepas dari kabinet ini menjadi tambun bin gemuk dan pos anggaran pengeluaran kian menyedot APBN), yang perlu diwaspadai adalah Presiden SBY sedang menumpuk barikade di sektor pertahanan untuk mengamankan kekuasaannya. Ini memang baru asumsi, atau bolehlah sedikit lebih keren disebut analisis, bahwa dengan hak prerogatif presiden, sangat mungkin untuk menggunakan kekuasaan dan logika kekuatannya dalam mengamankan kekuasaan dengan cara memilih orang-orang yang bisa menjadi tameng.

Jika melihat susunan terbaru hasil reshuffle, sepertinya Pak SBY tidak berniat secara sungguh-sungguh merombak kabinetnya. Beberapa menteri yang lalai dalam tanggungjawab dan tugasnya, malah tetap bercokol dan mendudukiposisinya semula. Padahal, menteri yang bersangkutan gagal dalam bertugas. Apakah karena dia bagian dari partainya atau karena ada deal politik dengan partai koalisi? Memang ada yang diganti karena sudah jelas kelalaiannya seperti menteri perhubungan, Freddy Numberi (dari Partai Demoktrat). Tetapi penggantinya adalah EE Mangindaan (juga kader Partai Demokrat), yang sebelumnya menjabat Menneg Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Ini sebagai contoh saja. Sebab, ada beberapa menteri yang hanya bertukar posisi jabatan saja dan umumnya dari legiun yang sama (baca: partai yang sama).

Bisakah KIB II hasil reshuffle ini menjalankan amanat—salah satunya menghilangkan kasus korupsi—bisa terwujud? Sepertinya, dugaan saya, tidak. Korupsi dan problem lainnya akan tetap ada. Ini bisa dilihat dari kinerja Presiden SBY dan kabinetnya, dua periode menjabat tak ada perubahan signifikan. Bahkan dalam beberapa kasus, terutama “Century-Gate” dan “Kisruh Wisma Atlet” posisi presiden kian tersudutkan. Itu sebabnya, reshuffle kali ini diduga kuat juga untuk menumpuk kekuatan di lini pertahanan kekuasaan. Kita lihat saja nanti.

Sekadar sharing, jika mau bercermin pada pemerintahan Islam, misalnya di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau tidak mau secuil pun menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya. Suatu ketika, anaknya menemui beliau di kantornya. Beliau sedang menyalakan lampu untuk penerangan. Sebelum mengobrol lebih jauh, beliau bertanya kepada anaknya, “Ananda hendak menyampaikan urusan rakyat atau urusan pribadi?” Dijawab oleh sang anak bahwa ia akan membicarakan urusan pribadi. Maka, dengan segera ia mengganti lampu penerangan di ruagannya dengan lampu khusus miliknya yang dibawa untuk kepentingan urusan pribadi. Subhanallah. Begitu amanahnya Umar bin Abdul Aziz kepada hak rakyat. Sungguh, saya belum menemukan hal ini terjadi di jaman sekarang.

Maka, komentar saya sedikit saja atas reshuflle kabinet ini: mengatasi masalah dengan masalah. Ya, ini tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah baru. Ah, Alangkah Lucunya Negeri Ini! (**mengingat saya pada film terkeren yang pernah saya tonton)

Salam
O. Solihin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun