Mohon tunggu...
Yosep Mau
Yosep Mau Mohon Tunggu... Penulis - Debeo Amare

Hic et Nunc

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kaum Milenial dalam Societas Kesadaran

29 April 2020   14:28 Diperbarui: 29 April 2020   14:41 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Manusia pada dasarnya merupakan  makhluk yang bebas. Kebebasan itu membuat manusia menemukan kesejatian dirinya. Oleh kesejatiannya manusia mampu mengesposisikan apa yang ada dalam pikiran sebagai sebuah ide, dan dieksplorasi sedemikian rupa menjadi suatu kontinuitas yang real. Telah  menjadi sebuah kenyataan bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan suatu tindak lanjut dari apa yang terjadi sebelumnya. Budaya, misalnya menjadi contoh bagaimana manusia bertransformasi dari keberadaannya sebagai manusia berbudaya kepada kebudayaan manusia. Tentu menjadi suatu makna yang berbeda ketika hal ini ditelusuri secara mendalam melalui kesadaran manusia. Hasil dari pencaharian ini akan menjadi tolak ukur bagaimana manusia memahami dunia di mana ia berada dan berelasi di dalamnya. Sehingga Coggito ergo sum menurut Decartes tidak hanya menjadi sebuah abstraksi biasa, tetapi juga menjadi inti dari keberadaan manusia yang sadar akan diri dan realitas di mana kesejatian dirinya dibentuk dan ditransformasikan.

Manusia makhluk bebas. Ia diciptakan atas prakarsa Allah demikian sebuah prinsip penciptaan yang dapat dilihat dari Kitab Suci sebagai buku iman (bdk Kej. 1:1-31).Terlepas dari kisah penciptaan yang telah berlangsung berabad-abad lamanya, manusia kemudian jatuh di bawah arus kebudayaan. Pergulatan manusia menembusi zaman merupakan sebuah histori yang tidak dapat dihilangkan dari muka bumi. Manusia selalu ada dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu akan keberadaan sebagai manusia masa lalu (Past), masa sekarang (present) dan masa depan (future).

Itulah budaya dari keberadaan manusia sejak zaman ia diciptakan sampai saat ini, ia masih bergulat dalam ruang dan waktu yang sama. Manusia tidak bisa dilepaskan dari peziarahan hidupnya, sebab tubuh manusia adalah kreativitas jiwa. Hal ini ingin menunjukan bahwa peziarahan manusia tidak bisa terlepas dari manusia secara keseluruhan (badan dan jiwa). Walaupun pada prinsip utama, keduanya merupakan dua entitas yang berbeda namun satu dalam peziarahan dalam ruang dan waktu yang kelihatan.

Pernyataan-pernyataan di atas sengaja diangkat untuk melihat suatu proses permasalahan umum yang kerap terjadi dari perspektif historisitas manusia itu sendiri. Manusia masa lampau menciptakan takdir untuk dirinya tetapi juga untuk generasi-generasi sesudahnya. Dapat dibayangkan jika Heideger mengatakan kelahiran adalah sebuah ketelemparan, maka zaman milenialpun merupakan sebuah ketelemparan dari zaman-zaman sebelumnya.

Zaman milenial sebuah babak baru akan ketelemparan dari masa postmodern. Masa di mana seluruh ilmu pengetahuan telah diobrak-abrik oleh rasionalitas manusia, hingga mencapai abad ke 21. Manusia dikatakan sebagai manusia pada era milenial ataupun yang kerap dihubung-hubungkan dengan masa revolusi 4.0. Sebuah revolusi di mana segala sesuatu yang berhubungan dengan akses kehidupan manusia digenggam oleh jejaring connected atau sistem berbasis internet.

Ini merupakan suatu babak penemuan yang tidak bisa ditolak oleh dunia di zaman milenial. Sebab-sebab dari penemuan di zaman ini adalah adanya kesenjangan sosial dalam hidup manusia. Jika zaman dahulu manusia adalah makhluk sosial, kini dan saat ini (hic et nunc) manusia adalah makhluk individualis. Zaman milenial tidaklah miskin akan pengetahuan, tetapi miskin akan kata-kata. Pernyataan ini, ingin menunjukan bahwa adanya ketidak sadaran kaum milenial untuk sesamanya. Ia (kaum milenial) tidak memahami konsep keberadaannya sebagai seorang manusia yang bersosialis. Ia kerap ada dan terpaku dalam dunia bayang-bayang yang semu insibilitas antara ada dan tiada.

Oleh sebab itu, artikel ini akan mencoba menguraikan tentang suatu tantangan kaum milenial, yang kerap mendominasikan dirinya akan segala hal, tetapi jauh dari itu, ia tidak menyadari bahwa ia telah berada pada ambang keabsuran. Ambang di mana dirinya ditantang untuk menyadari dan mengerti sejauh mana dirinya terlibat pada suatu fenomen tentang apa itu kasih dari kasih seorang manusia yang manusiawi untuk memanusiakan setiap keberadaan di zaman milenial.

Kaum Milenial dan Kesadaran....

Berbicara tentang kaum milenial di zaman milenial tentu menjadi sebuah pernyataan sulit, sebab akan mengundang pernyataan-pernyataan antara pro dan kontra terhadap kaum milenial. Persoalan antara pro dan kontra dapat ditinjau dari bebagai aspek kehidupan yang sedang terjadi saat ini. Sebagai seorang manusia milenial, penulis tidak dapat mengatakan setuju ataupun tidak setuju dengan  keberadaan  manusia milenial. Sebab manusia milenial telah menjadi manusia-manusia yang akan menjadi agen pembaharu bangsa bahkan dunia. Kaum Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y, Gen Y atau Generasi Langgas) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen X). tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir  dari kelompok ini. para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua. (Milenial-Wikipedia...id.m.wikipedia.org.)

Penelitian yang demikian memberikan pengaruh luar biasa kepada kaum milenial sebagai hasil dari generasi-generasi sebelumnya. Tentunya harus diakui bahwa pada masa ini dan masa sebelumnya terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat dari cara dan ciri kehidupan generasi X dan Y.

Generasi X dan Y, sangat menyadari bahwa mereka hidup dalam keterbatasan material, dan bahkan miskin untuk berkomunikasi secara digit. Sebab masa itu mereka masih hidup dalam revolusi industry 3.0. Sudah ada sistem komputerisasi, namun sitem jejaringan masih sangat terbatas tidak seperti sekarang ini. Kemiskinan mereka akan dimensi material mengubah pola pikir. Bila awalnya segala sesuatu dilakukan dengan mendikte dari para leluhur sebagai suatu tradisi, maka kini mereka mencoba mencetus generasi-generasi baru yang bukan hanya mendikte dari apa yang telah mereka alami, tetapi, lebih kepada sebuah pencaharian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun