Mohon tunggu...
Y.OscarOlendo
Y.OscarOlendo Mohon Tunggu... Dosen - Unjuk Kata; Unjuk Rasa

Yudhistira Oscar Olendo, Dosen prodi Seni Pertunjukan FKIP UNTAN.

Selanjutnya

Tutup

Music

Pendidikan Musik di Pontianak

12 Desember 2019   00:05 Diperbarui: 12 Desember 2019   00:15 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pendidikan musik lazimnya diidentikkan dengan belajar keterampilan bermain instrumen. Jika berbicara soal keterampilan bermain instrumen, maka seolah sudah menjadi anggapan umum bahwa Musik Klasik lah sang Dewa.

Banyak orang tua yang seperti kebakaran celana dalam jika tahu anaknya bermain lagu Pop. Banyak juga yang seperti kebakaran bulu ketek jika tahu anaknya main musik yang sedikit "di luar pakem". Celakanya, si guru pun seperti kehabisan materi mengajar. 

Sejak jaman Abraham Lincoln sampai jamu Nyonya Meneer, mati hidup pake Hanon, Czerny, Duvernoy, dan sebangsanya. Buku-buku itu adalah buku klasik tradisi yang terbukti turun-temurun dan didukung berbagai kajian teori yang sudah menjawab tentang efek positif dari musik klasik. 

Bagi saya, guru musik yang seperti itu adalah mereka yang berapologi menutupi ketidakmampuannya untuk mengembangkan diri mencari buku ajar atau bahkan membuat buku ajar itu sendiri yang lebih pas untuk keadaan siswa di jaman gila seperti sekarang ini.

Nampaknya, pendidikan musik di Pontianak harus dimaknai sebagai sebuah proses. Bukan sebagai sebuah asupan empiris belaka. Musik membahasakan dirinya. Dan bahasa diri itulah yang merupakan stimulasi proses pembelajaran sekaligus pendidikan. Musik harus dimaknai sebagai lebih dari sekedar keteladanan.

Silahkan saja guru musik mengajar dengan hanya menggunakan berbagai teori tanpa praktek. Apakah akan tersentuh psikomotorik si siswa? Yang lebih utama adalah bagaimana kebiasaan kita merespon hal tersebut, dan bahasa musik yang bagaimana yang diajarkan si guru. Pola berpikir semacam ini tentu masih sangat jauh untuk dikonsumsi masyarakat kita. 

Esensi seringkali dikaburkan dengan apa yang digembar-gemborkan sebagai sebuah keteladanan, yang sebetulnya adalah mercusuar semu. Suatu saat, jika pola pikir masyarakat sudah siap, maka akan ada tempat yang tepat pula bagi pegiat seni yang lebih dalam mengeksplor karyanya dan didukung apresiator yang sudah siap setelah didasari berbagai pengetahuan seni khususnya seni musik. Impiannya, produk dari pendidikan musik dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana cara memahami lebih dalam pemaknaan dalam sebuah karya musik.

Pendidikan musik bukan cuma terampil bermain instrumen seperti topeng monyet dan lumba-lumba sirkus. Pendidikan musik hanya bisa berhasil apabila siswanya merasa senang dan merasa butuh musik dan akhirnya akan muncul suatu kreativitas atau pengembangan terhadap musik itu sendiri. Bagaimana bisa senang dan merasa butuh jika tiap kali kursus si siswa merasa bagai latihan menahan siksaan. Bagaimana si siswa bisa ada passion and need for music jika dia tidak paham latihan.

Ada baiknya jika pendidikan musik seiring jalan dengan kultur yang acapkali merambah si siswa. Juga dengan gaya hidup dan lingkungan keluarganya. Sangat aneh jika siswa yang lingkungan keluarganya punya koleksi lagu dangdut lima lemari dipaksa main musik klasik baku hingga tamat satu buku. Dengan demikian, pendidikan musik sebetulnya membutuhkan alternatif, membutuhkan PILIHAN dari hanya sekedar Musik Klasik baku yang sudah keenakan menjadi Dewa ratusan tahun silam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun