Tulisan saya sebelumnya,
"Di Indonesia, sepertinya Covid-19 lebih unik dan sexy. Karena bukan melulu karena bisa mematikan manusia, tapi mampu dipakai untuk 'naik ke jenjang populeritas atau terkenal.' Misalnya, seseorang bisa terkenal karena menyebar hoaks tentang Covid-19; atau bahkan Covid-19 sebagai 'panggung politik.'
Ya, hanya di Indonesia, orang menjadikan Covid-19 untuk menarik perhatian publik. OK lah, namanya juga politisi yang berpolitik. Tapi, kok memalukan ya."
Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Ternyata, hingga sebulan 'hantu Covid-19 menghantui' RI, apa yang saya ungkapkan tersebut, semakin terbukti. Para pelaku politik kebencian tersebut, telah kehilangan empati, simpati, serta naluri dan akal sehat.
Mereka, pada setiap kesempatan, selalu menyampaikan orasi dan narasi yang penuh ketidaksukaan serta kebencian terhadap Negara; dan juga menuding langsung ke Presiden RI, Joko Widodo. Bahkan, ketika Presiden dalam balutan duka, mereka tetap 'mengirim' kiriman penuh benci dan kebencian. Sungguh sangat keterlaluan.
Ya. Kita, anda dan saya, saat ini ada di dalam sikon seperti di atas; sikon, pada satu sisi, melawan Covid, di sisi lain, bertempur melawan orasi dan narasi kebencian politik. Untungnya, tidak banyak rakyat RI yang dipengaruhi dan terpengaruh orasi dan narasi kebencian politik; walau menimbulkan amarah. Namun amarah tersebut dapat dikendalikan.
So. Apa yang bisa kita, anda dan saya, lakukan? Apa yang dapat dilakukan agar memenangkan pertempuran dan perang melawan Covid-19 sekaligus meruntuhkan 'menara kebencian politik?'
Memenangkan pertempuran dan perang melawan Covid-19, bisa terjadi, karena tidak ada bencana yang abadi; setiap bencana, pasti berakhir. Walau 'berakhir' dengan menyisahkan luka-luka batin, kegetiran, serta air Mata kepahitan dan kesedihan. Semuanya (akan) menjadi stigma abadi dalam diri; stigma yang tak terhapus.
Tetapi, akankah Negeri ini bisa meruntuhkan 'menara kebencian politik?' Ini yang tak terjawab. Karena, di Negeri Tercinta ini, terjadi pewarisan kebencian politik dan politik kebencian (lihat kolom komentar); sehingga terus menerus ada, siapa pun pemimpinnya. Itulah, keajaiban kedua, setelah Borobudur, di Indonesia.
Cukuplah
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini