Mohon tunggu...
Mansyur Djamal
Mansyur Djamal Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi dan Rekayasa Politik Calon Tunggal

5 Juni 2017   15:23 Diperbarui: 5 Juni 2017   15:23 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komisi Penyelanggara Pemilu (KPU) telah menetapkan tahapan pelaksanaan pilkada serentak gelombang III pada Agustus 2017. Pencoblosan akan direncanakan Rabu, 27 Juni 2018 untuk 171 daerah (17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten). Pilkada gelombang III dapat dikatakan strategis karena terkait penyebaran kekuatan politik menjelang pemilihan umum legislatif. Jika semakin banyak mengoleksi kepala daerah dari pekerja partai semakin besar pula dampak politiknya.    

Pilkada 2018 menarik untuk di cermati jika terdapat calon tunggal dalam bursa pencalonan, sebagaimana pilkada sebelumnya yang terdapat 3 calon tunggal (pilkada 2015) dan 8 calon tunggal (pilkada 2017). Alhasil dalam pertarungan demokrasi kotak kosong calon tunggal keluar sebagai pemenang tanpa ada perlawanan. Pertanyaan kemudian adalah apakah kemenangan calon tunggal terkait keberhasilan kepala daerah atau hasil rekayasa elite politik di pentas demokrasi.

Terdapat beberapa faktor yang dapat dikatakan menghasilkan calon tunggal diantaranya mahalnya biaya politik, krisis kader parpol, terjadinya monopoli rekomendasi dukungan dan keberhasilan kepala daerah/prestasi incumbent. Dengan demikian proses calon tunggal dapat dihasilkan melalui rekayasa elite dan proses alamiah.

Proses alamiah sangat terkait pada keberhasilan kepemimpinan dan kepercayaan masyarakat. Kandidat calon tunggal dengan segudang prestasi (baca; kepala prestasi) dengan program unggulan, inovasi pelayanan dan gebrakan reformasi birokrasi sudah berhasil meraih dukungan penuh masyarakat. Meminjam bahasa Mada Sukmajati kepemimpinan programatik-politik programatik. Kepala daerah berkinerja baik dengan program-program yang perubahannya langsung di rasakan masyarakat berdampak langsung terhadap tingkat popularitas dan elektabilitas.            

Hal yang berbeda akan terlihat pada strategi politik calon tunggal rendah prestasi, banyak masalah dan banyak uang. Dalam penilaian masyarakat calon tunggal yang bersangkutan gagal kepemimpinannya sudah tentu berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat pada pencalonan periode kedua. Akhirnya, jalan yang di tempuh adalah melakukan rekayasa politik ; monopoli rekemendasi partai dan mengusung calon boneka. Dengan demikian semakin mudah langkah calon tunggal untuk terpilih kembali.  

Dialektika Demokrasi

           

Hadirnya calon tunggal menjadi bagian dari dialektika demokrasi lokal yang tidak bertentangan dengan peraturan-perundangan (baca; Putusan MK dan PKPU). Tetapi menjadi ancaman serius ketika proses demokrasi lokal menghadirkan calon tunggal (hasil rekayasa elite) yang telah terbukti gagal membangun daerah.

Ketakutan kalah dalam pertaruangan pilkada pembuat para elite harus berpikir melakukan rekayasa sejak tahapan pilkada. Kekuatan modal sebagai alat mengambil semua rekomendasi dukungan parpol sebagai solusi menghentikan ruang gerak kandidasi/rivalitas politik. Bahkan dengan kekuasaan dan wewenang dapat menekan masyarakat untuk menarik dan bahkan tidak memberikan dukungan pada calon perseorangan/independen.   

Dengan kekuasaan serta dukungan finasial sangat mudah menghadirkan calon boneka sebagai bentuk pencitraan pilkada yang berjalan kompetitif dan demokratis. Konsekuensi pembiayaan kandidat boneka/bayangan menjadi tangung jawab kandidat calon tunggal. Sebagaimana hasil riset pilkada Purbalingga oleh Indaru Setyo Nurprojo, partai politik berusaha dengan segala cara agar pilkada dapat terlaksana, salah satunya memunculkan calon bagongan. Calon Bagongan menjadi wujud sandiwara politik bagi para elit parpol dan pemilik modal dalam membohongi rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah.

Elite politik (rendah prestasi banyak masalah) dengan mudah melakukan dua siasat di atas. Pelaksanaan pilkada yang dinodai dengan rekayasa calon tunggaldan kehadiran calon boneka sebagai bentuk kamuflasi politik yang berdampak terhadap kualitas demokrasi lokal dan melenceng dari semangat otonomi daerah. Pilkada dan otonomi daerah dimaknai sebagai sarana mengamankan kekuasaan, penguasaan modal dan status sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun