Mohon tunggu...
Rokhman
Rokhman Mohon Tunggu... Guru - Menulis, menulis, dan menulis

Guru SD di Negeri Atas Awan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mas Guru “Honorer”

2 Mei 2016   17:19 Diperbarui: 2 Mei 2016   18:17 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi : liputan6.com

"Mas Guru” dahulu merupakan panggilan terhormat bagi mereka yang berprofesi sebagai guru nun jauh di kampung sana. Tak peduli ia sudah tua atau masih muda, bujangan atau berkeluarga, wanita atau pria. Sebutan itu bukanlah sebuah “kengawuran” belaka akan tetapi lebih mengarah pada penghormatan atas profesi guru. Dengan sebutan itu, guru disetarakan dengan derajat kebangsawanan yang dimiliki kerabat kraton seperti sebutan raden mas dan raden ngabehi.

Seiring kemajuan zaman, sebutan mas guru sudah jarang terdengar, meskipun masih ada. Kemajuan di berbagai bidang saat ini telah menempatkan posisi guru tidak sesakral dulu. Kalau dulu, orang-orang menempatkan “mas guru” sebagai bagian terpenting pada setiap hajatan di kampung, kini penilaian mereka terhadap guru telah berubah. Mereka menganggap guru sebagaimana warga biasa yang tidak perlu mendapat keistimewaan. Bahkan, yang lebih ekstrim menganggap kehadiran sosok guru dalam proses pendidikan sudah tidak begitu penting karena telah tergantikan oleh teknologi.

Tak Tergantikan

Proses pendidikan tidak sama dengan proses produksi. Menurut Bahrul Hayat, PhD, sekilas lembaga pendidikan memang mirip pabrik atau lembaga produksi. Akan tetapi, sesungguhnya terdapat perbedaan yang mendasar. Pada pabrik, terjadi hubungan kausal yang mutlak antara input (masukan), proses dan output (keluaran). Komponen-komponen itu bergerak secara linier dan bisa dikalkulasi dengan tepat. Jika input dan prosesnya distandarisasi atau standar operasional prosedur (SOP) diterapkan, maka output-nya juga akan terstandar. Yang dibutuhkan adalah cheking dan quality control.

Sedang pada pendidikan tidak seperti itu, karena pendidikan bersifat dinamis, tidak statis. Kita tidak bisa menjadikan seluruh siswa sebagai input yang memiliki standar yang sama seperti barang. Pada proses pun, juga sangat dinamis karena di proses ini ada wilayah yang disebut black box (kotak hitam), yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Karena kedinamisan itu, maka output yang dihasilkan dalam pendidikan juga tidak akan sama persis antara siswa yang satu dengan yang lain. Selain tiga hal itu, yakni input, proses dan output, yang juga membedakan dalam pendidikan adalah adanya konteks. Baik input, proses maupun output berinteraksi dengan konteks. Di pabrik atau lembaga produksi, tidak ada komponen konteks (Ikhlas Beramal, 63/2010).

Dalam konteks inilah, guru berperan sangat penting sebagai motor penggerak proses pendidikan. Guru merupakan komponen dominan dalam interaksi itu. Tanpa kehadiran guru proses pendidikan tidak bisa berjalan. Guru adalah pusat dari pergerakan input supaya mengarah ke proses yang baik. Oleh karena itu, guru memegang peran sentral dari proses pendidikan. Guru adalah ruh atau jiwa dari pendidikan.

Guru berfungsi sebagai generator dalam kegiatan pembelajaran yang menggerakkan seluruh komponen input. Bahkan guru bisa mengalahkan ketiadaan komponen-komponen input lain, seperti buku sebagai bagian dari komponen sarana. Walaupun ada media atau sumber belajar yang lain, buku, internet, alat peraga dan lain-lain, namun peran guru tetap tidak tergantikan. Sejarah telah membuktikan bahwa, dahulu ketika ketersediaan buku belum memadai, laboratorium belum ada, toh pendidikan tetap berjalan karena ada guru.

Akan tetapi, permasalahan guru di Indonesia dari waktu ke waktu seakan tak ada habisnya. Permasalahan mulai dari distribusi, kualifikasi, hingga kompetensi guru ibarat benang kusut yang sulit terurai. Dalam hal distribusi guru, data nasional menunjukkan rasio guru dengan siswa di Indonesia sudah lebih dari ideal. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang kekurangan guru, meskipun ada juga sekolah yang kelebihan guru. Hal ini disebabkan distribusi guru yang tidak merata akibat faktor geografis negara kita. Kondisi ini diperparah dengan tumpang tindihnya berbagai regulasi tentang penempatan guru.

Maka, beberapa sekolah di daerah tertentu yang kekurangan guru menerima tenaga honorer atau guru tidak tetap (GTT) demi menunjang kelancaran proses belajar mengajarnya. Bahkan, meskipun aturan tentang pengangkatan tenaga honorer diperketat, ada saja sekolah yang melanggar. Demikian juga si tenaga honorer ini kebanyakan nekat dengan dalih ingin mencari pengalaman atau sekadar menularkan ilmu yang dimilikinya.

Kondisi inilah yang menyebabkan para guru “Honorer” tak punya posisi tawar. Akibatnya terkondisikanlah suatu keadaan di mana mereka hanya mendapatkan bayaran yang rendah, sementara ia tak punya hak cuti, hak pensiun, hak kenaikan pangkat, hak kenaikan gaji dan seterusnya. Padahal beban tugas dan pekerjaan sama dengan guru PNS/tetap lainnya yaitu dalam rangka mencerdaskan generasi penerus bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun