Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cara Efektif Agar Tidak Harus Nambah Truk Sampah, Padahal Sampah Kota Nambah Terus...

22 Mei 2015   11:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:43 3147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Om-G: Seri Ergonomi Terapan, Produktivitas, 21 Mei 2015, 8)

Dulu waktu Om-G sekolah di Prancis, 1987-1993, kadang-kadang Om-G suka memperhatikan murid Taman Kanak-kanak yang setelah minum susu kotak punyanya, lalu “melipat” dahulu kotak susu bekasnya itu dan barulah setelah itu membuangnya ke tempat sampah. Ketika Om-G tanya kenapa, dia menjawab “Kata Ibu Guru, aku harus melipat kotak susuku agar sampahnya tidak terlalu besar...”. Ah bener juga ya? ‘Kan kalau dilipat maka volumenya akan lebih kecil...

---

Beberapa tahun berlalu...

Once upon a time, di sebuah kota antah berantah, Om-G ceritanya ngobrol dengan seseorang yang kalau di sini mah disebut sebagai Kepala Dinas Kebersihan. Beliau mengeluhkan jumlah truk sampah yang dimiliki oleh Dinasnya, dan bilang bahwa Dinasnya memerlukan beberapa ratus truk sampah tambahan kalau ingin semua sampah di kotanya terangkut setiap hari. Om-G tiba-tiba ingat tentang anak TK yang melipat dulu kotak susu sebelum membuangnya ke tempat sampah seperti diceritakan tadi.

Ya terus Om-G ceritakan deh cerita yang tadi sambil bilang bahwa sebetulnya mungkin ada banyak cara agar sampah bisa terangkut semua tanpa harus menambah jumlah truk sampah, yaitu dengan cara mengurangi jumlah volume sampah yang harus diangkut, misalnya dengan cara:

·Meminta kepada masyarakat agar melipat kotak susu, minuman kotak, dll, dan baru kemu­dian dibuang ke tempat sampah. Sosialisasikan kepada masyarakat tentang apa manfaatnya, penghematan sebesar apa yang bisa diharapkan. Sosialisasikan melalui bermacam-macam media (jangan cuma disosialisasikan dalam bentuk dokumen yang disimpan di laci!), misalnya dengan baligho, selebaran, pesan di posyandu, di sekolah-sekolah, di radio, tv (lokal), surat kabar (lokal), dan why not, via media sosial.

·Mengapresiasi dan mendorong masyarakat/LSM yang melakukan kegiatan “bank sampah”, “dokter sampah”, dll.

·Mendorong masyarakat untuk memilah sampah berdasarkan sampah organik/non organik dengan menyediakan dua jenis tempat sampah untuk keperluan tersebut (sekarang sudah banyak!), dan mengefektifkan kegiatan pemilahan sampah tersebut sampai ke ujung! Om G pernah melihat seorang tukang sampah yang menuangkan sampah dari kedua jenis tempat sampah tadi ke dalam gerobaknya. Astaga... menyatu lagi deh sampahnya. Sama juga bo'ong deh, hehehe...

Nah untuk untuk “kasus” ini, para tukang sampahnya perlu dibriefing dan juga diberi ancaman sanksi kalau masih melakukan hal seperti itu (sediakan pula kotak pengaduan di RT/RW agar masyarakat bisa melapor). Dan tidak cukup seperti itu! Sediakan pemisah di gerobaknya agar kedua jenis sampah tidak tercampur, atau sediakan dua gerobak terpisah. Sediakan pula TPS (Tempat Pembuangan Sementara) yang terpisah untuk kedua jenis sampah tersebut.

Di “ujung” (di TPA, Tempat Pembuangan Akhir sampah), selain harus disediakan tempat terpisah untuk kedua jenis sampah, maka paling tidak sampah organiknya harus diolah (menjadi kompos, misalnya) dengan menyediakan mesin pencacah dan sebagainya. Nah komposnya mungkin bisa dijual, dipakai untuk memupuki tanaman pinggir jalan dan taman kota atau untuk menunjang penghijauan di bukit-bukit gersang di sekitar kota dan di DAS, Daerah Aliran Sungai. (Jangan-jangan, Dinas Kebersihan dan Dinas Pertamanan dan Pemakaman perlu di-merger ya? Ah nggak tau deh yang ini mah...).

Bagaimana dengan sampah anorganiknya? Sebagian mungkin bisa didaur-ulang melalui jasa para pemulung sampah. Bagaimana sisanya? Siapa tahu bisa dimanfaatkan juga, untuk PTSa misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. (Om G pernah mendengar-dengar tentang hal ini, walaupun katanya masih ada pro dan kontra...).

·Lebih baik lagi, dorong masyarakat untuk mengolah sendiri sampah organiknya sehingga total volume sampahnya menjadi berkurang. Menurut Om G banyak kok keluarga yang mau melakukannya... Masalahnya mungkin mereka tidak tahu bagaimana caranya. Lalu bagaimana atuh? Ya beri saja mereka kursus gratis tentang hal itu (harus gratis agar lebih banyak masyarakat yang tertarik untuk ikut), misalnya di level RT/RW, beri pula petunjuk tentang bagaimana membuat wadah, tong atau tabung komposternya, di toko mana bakteri starternya bisa dibeli dsb. Mungkin pula hal ini bisa mendorong tumbuhnya bengkel-bengkel yang membuat tong atau wadah untuk membuat kompos tadi. Nah, jadi sekalian membuka lapangan kerja nih...

·Nah siip, ‘kan? Tapi Om-G, dari mana dong dananya? Yé ini orang, ya mikir dong, ‘kan situ yang jadi Boss! Ok deh, Om-G kasih contoh “bocoran jawaban”nya ya... Ini misalnya: selain dianggarkan lewat APBD (ya mestinya boleh dong, ‘kan ujung-ujung nya ini akan menghemat jumlah truk sampah yang harus dibeli, iya nggak?), coba deh Om Boss (Om Kadis, ?) melakukan pedekate kepada perusahaan-perusahaan yang ada di wilayah situ, siapa tahu mereka bersedia menyalurkan sebagian dari dana CSR nya untuk kegiatan-kegitan tadi ya... Apakah untuk membiayai pengadaan tabung-tabung komposter + bakteri starter untuk dibagikan kepada masyarakat di sekitar pabrik/perusahaan donatur, untuk biaya sosialisasi di sekolah-sekolah, posyandu, di radio, di koran, baligho, selebaran, biaya kursus pembuatan kompos, atau sesederhana tindakan membeli kompos dari TPA untuk memupuk pohon-pohon di halaman perusahaan.

Ngemeng-ngemeng, bagaimana reaksi Om Kadis mendengar usulan-usulan Om-G yang ngablak lebih dari sejam itu? Alhamdulillah... Ternyata beliau bilang bahwa “Wah itu mah susah banget dong, Om-G, kayaknya mustahil deh untuk dilaksanakan!”. Weleh-weleh, gemes deh kita! Ya gpp deh, mudah-mudahan nanti mah ada yang denger, dan bersedia bersusah-susah melakukan upaya-upaya yang memang mungkin susah dan merepotkan (tapi bukan mustahil!), yang bisa membawa manfaat ini...

Sekian dulu dari Om-G ya. J’espère que demain on se retrouve à nouveau, d’accord?

Kompasiana.com/Om-G

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun