Antusiasme dan Lingkungan Baru
  Sejak awal diumumkan, saya sudah sangat antusias dengan program local immersion yang diadakan SMA Global Prestasi ini. Rasanya berbeda dari kegiatan sekolah biasanya---lebih dari sekadar kunjungan, ini adalah pengalaman hidup. Perjalanan ke Wonosobo menjadi sesuatu yang saya tunggu-tunggu. Bukan hanya karena tempatnya yang menarik, tapi juga karena ini kesempatan untuk keluar dari rutinitas, melihat langsung bagaimana kehidupan berjalan di luar lingkungan saya sehari-hari. Saya ingin belajar dari masyarakat di sana, menyelami keseharian mereka, dan membuka diri terhadap hal-hal baru.
  Pada hari Senin, tanggal 17 Februari 2025, saya tiba di Wonosobo, sebuah kabupaten yang terkenal dengan keindahan dataran tingginya. Suasana sejuk dan pemandangan alam yang asri langsung menyambut kedatangan saya. Tujuan utama perjalanan ini adalah untuk mengikuti serangkaian program kegiatan yang telah direncanakan, berlokasi di beberapa titik di sekitar pedesaan Wonosobo. Program-program tersebut meliputi penyelenggaraan bazar, membantu kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar, berpartisipasi dalam kegiatan berladang bersama petani setempat, terlibat dalam posyandu, serta terlibat dalam acara pentas seni tradisional. Kesempatan ini saya harapkan dapat memberikan pengalaman langsung tentang kehidupan masyarakat Wonosobo dan memperkaya pemahaman saya tentang interaksi sosial dan budaya di sana.
Perspektif dan Realita
  Mengikuti program local immersion di Wonosobo memberikan saya pengalaman yang tak hanya menyentuh hati, tetapi juga membuka mata terhadap kenyataan sosial yang selama ini luput dari perhatian saya. Salah satu hal yang paling mengejutkan saya adalah bagaimana banyak anak muda di sana yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebagian memilih langsung bekerja setelah lulus SMA/SMK, atau lebih memilih bekerja dibanding melanjutkan bidang studi.
  Pengalaman ini menjadi lebih nyata ketika saya berbincang langsung dengan salah satu warga muda di sana.Â
Ia berkata, "Dulu masuk SMP setengah tahun, terus pada saat itu ada covid. Itu kan sekolah online, kan. Pada saat itu aku belum punya HP, jadi aku memutuskan buat berhenti sekolah. Akhirnya memutuskan buat kerja gitu aja, hehe..."Â
Ia pun juga melanjutkan "Pada saat itu bantu bantu orang tua di ladang sambil nyari kerjaan terus pas udah kerja di salah satu cafe daerah sini sekitar 4 bulan aku berhenti bekerja terus selang setengah bulan kerja di proyek pembangunan di kawah sikidang tapi baru kerja 4 hari di jemput sama polisi karna mandornya di marahin polisinya katanya memperkerjakan anak di bawah umur gitu dan akhirnya kerja jadi petani akhirnya nabung nabung nabung dan sekarang punya ladang sendiri."
  Dari ungkapan beliau, saya jadi mengerti bahwa keputusan untuk tidak melanjutkan bidang studinya merupakan sebuah bentuk adaptasi dari keadaan yang penuh keterbatasan. Ketika akses ke pendidikan bergantung pada hal sederhana seperti memiliki perangkat untuk belajar daring, banyak anak muda seperti dia yang harus memilih jalan yang sama sekali berbeda demi bertahan hidup.