Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga

27 November 2011   00:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Citra polisi sebagai pelindung sudah luntur di mata kanak-kanak saya ketika seorang polisi muda berseragam lengkap bertamu ke rumah. Polisi perantau dari Jawa yang bertugas di kota kecil kami ini, mengancam akan menembak Nero jika tidak segera disingkirkan dari pandangannya. Kesalahan fatal apa yang telah dilakukan Nero anjing kampung berbadan sekal berkulit coklat mengkilap sehingga terancam hukuman mati? Di otak kanak-kanak saya, Nero adalah penjaga rumah yang bisa diandalkan. Gonggongannya membuat seisi rumah terjaga ketika malam hari memergoki maling yang beberapa kali hendak masuk ke dalam rumah. Jika Nero disingkirkan apakah pak polisi mau menggantikan tugasnya? Jengkel, marah campur geli mendengar penjelasan panjang lebar polisi muda di teras depan rumah sore itu. Setiap hari polisi muda ini berangkat dan pulang bekerja berjalan kaki melewati rumah kami. Dan setiap itu pula Nero selalu mengejar, mengajak bercanda dengan menarik ujung celana terkadang menggigit sepatunya, melompati dan yang bikin pak polisi tersinggung Nero selalu berusaha mengendus bagian terlarang. Yang membuat kami heran, Nero hanya berbuat begitu ke polisi, pejalan kaki lainnya tidak diperlakukan demikian. Agar tidak didor, dengan berat hati kami merelakan Nero diungsikan ke rumah Nenek. Di usia delapan tahun, saya berani mencap polisi itu jahat!

[caption id="attachment_151959" align="aligncenter" width="347" caption="source: cartoonstock.com"][/caption] Kejadian paling menggelikan tahun 2004 di bundaran HI, kami disetop polisi yang tiba-tiba muncul di mulut jalan Imam Bonjol. Begitu jendela diturunkan, teman saya langsung sok akrab menebar pesona sengaja mengeluarkan logat Sulawesi yang kental,"siang pak polisi, apa kabar? saya ada salah ya pak, kok disetop?" Polisi minta uang damai karena melihat kita salah mengambil jalan untuk belok, teman saya tidak rela dan bertahan dengan tawaran selembar sepuluh ribu. "Paaaak, baru satu bulan saya di Jakarta mana tahu aturan di sini, lihat itu plat mobilku masih dari Makassar" Saya yang duduk di sebelahnya sakit perut menahan tawa yang sudah mau pecah. Aksi damai dicapai setelah segala trik dikeluarkan hanya dengan bertukar nomor HP dan kami melenggang tanpa keluar sepeser pun. Begitu sampai di tujuan, sebuah telpon masuk minta ijin untuk bertandang ke tempat sang kawan saat jam bebas tugas. Permintaan yang hanya diladeni oleh kawan saya dengan candaan garing haha, kasihan banget tuh pak polisi.

Bulan Juli lalu saya terpaksa berurusan lagi dengan kepolisian, menjawab pertanyaan di hadapan petugas untuk melengkapi berita acara perkara (BAP) setelah rumah kost disatroni maling hingga menjelang pagi. Di ruangan yang pengap, aroma asem tercium dari AC yang menyedot bau apek handuk basah, baju, jaket dan seragam yang dicantelin begitu saja di dinding sementara peralatan mandi tergeletak di sekitar meja kerja. Dalam hati, ini kantor apa barak pengungsi ya? Meski sudah tahu tak akan ada gunanya, saya menyetujui ikut ke kantor polisi karena penasaran ingin tahu langkah-langkah apa yang akan dilakukan oleh aparat dalam mengungkap kasus tersebut. Bagaimana mau bertindak, datang ke tempat kejadian perkara (TKP) dengan potongan kertas buat catat sana sini tapi sidik jari yang menempel di kaca, pintu dan benda-benda lainnya hanya dipandangi sekilas. Kamera yang dibawa untuk mendokumentasikan TKP ternyata baterainya bocor sehingga tidak bisa digunakan. Dua hari kemudian, sekitar pk 15 saat masih sibuk di kantor sebuah pesan singkat saya diterima di HP berbunyi,"sudah pulang?" diakhiri nama pengirim petugas yang menginterview malam itu. Aneh, padahal salah satu poin yang ditanyakan saat mengisi BAP malam itu adalah : biasanya sampai di rumah pukul berapa?

Kejadian yang masih segar Jumat malam (25/11) bis yang saya tumpangi diberhentikan oleh tiga orang polisi di bahu jalan tol 500m menjelang pintu keluar Cilandak saat lalu lintas padat merayap. Sopir terlihat mesem-mesem berteriak meminta kondektur menyiapkan pecahan dua puluh ribu rupiah. Begitu bis berhenti salah satu polisi mendekat ke jendela sopir lalu mereka bersalaman dan uang dua puluh ribu pun berpindah tangan. Tanpa ada pemeriksaan kelengkapan surat-surat terlihat mereka sudah saling mengerti hak dan kewajibannya. Mendadak sopir berteriak lagi memberi aba-aba kepada kondektur,"ning buri!" Mata saya mengikuti gerakan kepala pak sopir dan melihat dua orang polisi yang berjalan ke belakang bis. Transaksi kedua terjadis, tiga puluh ribu kembali berpindah tangan demikian penjelasan kondektur dalam bahasa Jawa memberi laporan keras-keras yang didengar seantero bis. Begitu gampangnya ya menyelesaikan perkara, dan betapa murahnya harga seorang aparat seperti ocehan kondektur,"telu limang pulo ngewu."

Apakah semua penegak hukum dan aparat seperti itu? Satu dua orang masih bisa kita temui yang matanya tidak hijau melihat duit, mereka benar-benar menjalankan tugas dengan baik. Contohnya November 2009, dua orang petugas kepolisian Cirebon yang menunjukan jalan kepada kami bahkan menitipkan kami kepada sopir angkot agar diantarkan ke tempat tujuan yang bukan jalur si angkot. Hehe, ketahuan pak polisinya tidak hapal jurusan angkot di kotanya sendiri. Contoh lain adalah tiga orang perwira yang mengikuti program ABRI Masuk Desa pada tahun 1980-an yang tinggal di rumah kami selama hampir tiga bulan, om-om tentara (demikian kami memanggilnya) baik-baik, atau masih polos ya. Kelompok yang baik ini jadi korban pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Bagaimana dengan gambar berikut? Seorang anggota kepolisian membawa senjata di punggung mengendarai sepeda motor dengan kencang saat Car Free Day berlangsung di jalan Sudirman pada th 2008 lalu. Meliuk-liuk diantara peserta jalan santai yang memadati jalan untuk menyelinap ke jalur transJakarta, arogan ya!

[caption id="attachment_151960" align="aligncenter" width="300" caption="aparat melaju dengan sepeda motor saat hari bebas kendaraan bermotor/CFD 2008 di Sudirman (dok. koleksi pribadi)"][/caption] Kalau teman saya bilang,"peraturan dibuat untuk dilanggar koq." Dari beberapa pengalaman berurusan dengan aparat kepolisian, saya sampai pada satu kesimpulan baik tidaknya seorang polisi tergantung tanggal berapa kita bertemu dengan mereka. [oli3ve]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun