Refleksi Bukan Arogansi: Sebuah Catatan untuk yang Masih Mau Diam
Di dunia yang semakin cepat, di mana segala sesuatu harus segera ditanggapi, dibuktikan, dan dipertontonkan, refleksi dianggap lambat, bahkan kadang tak relevan. Ia disalahpahami sebagai arogansi, seolah-olah orang yang merenung terlalu dalam sedang merasa lebih tahu dari yang lain.
Padahal sesungguhnya, refleksi adalah keberanian untuk diam ketika dunia ribut. Ia bukan soal sok tahu, tapi justru pengakuan bahwa kita belum benar-benar tahu apa-apa.
Refleksi bukan menara gading, tapi sumur dalam yang digali oleh orang-orang yang pernah haus. Ia bukan milik para akademisi semata, tapi juga milik petani yang merenung di tengah sawah, musisi yang termenung di antara dua nada, atau ibu rumah tangga yang diam menatap langit selepas hujan.
Aku pernah membawa gagasan yang kupikir jernih dan bernilai ke sebuah forum. Namun ia ditolak, dengan wajah akademik yang dingin dan alasan-alasan yang tidak menyentuh isi. Beberapa bulan kemudian, gagasan itu muncul kembali dalam bentuk lain, di atas nama yang berbeda. Dan aku hanya bisa tersenyum pahit.
Itu menyakitkan. Tapi juga menyadarkan. Bahwa mungkin dunia belum siap untuk sesuatu yang tidak bising. Bahwa kadang, ide bukan ditolak karena keliru, tapi karena datang dari suara yang tidak mereka anggap penting.
Maka aku kembali ke dalam diri. Bukan untuk menyerah, tapi untuk tidak kehilangan arah. Karena bagiku, refleksi adalah cara untuk tetap waras, ketika realita terlalu sering menyulut luka.
Saya tidak sedang merasa lebih tinggi dengan berpikir. Saya hanya sedang bertanya: apa yang benar-benar sedang saya jalani? Dan untuk siapa semua ini?
Dan kalau refleksi ini terlihat arogan, mungkin karena di dunia yang terlalu riuh, diam dan berpikir dianggap mencurigakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI