Saat lautan manusia berkumpul, bukan cuma orasi yang membuat suasana memanas --- warna pun berteriak. Pink dan hijau jadi bahasa visual yang susah diabaikan.Â
Demo yang biasanya identik dengan spanduk dan orasi kali ini terasa berbeda karena menghadirkan sesuatu yang lebih visual: simbol warna pink dan hijau. Menariknya, simbol ini tidak hanya ada di poster, tapi juga diwujudkan lewat busana dan gaya berpakaian massa. Di sinilah fashion tampil sebagai bahasa politik.
Pink, yang sering dianggap lembut dan feminin, kini dipakai dengan lantang juga tampil sebagai lambang keberanian. Dari kaos, jaket, hingga aksesori bernuansa pink terlihat di kerumunan. Bayangkan saja, ibu-ibu dengan baju atau atribut pink ikut turun ke jalan. Pesannya jelas: keberanian itu nggak selalu harus ditunjukkan dengan serba gagah atau maskulin. Pink bisa jadi "brave" kalau konteksnya perjuangan.
Meski begitu, tidak semua orang sepakat kalau warna pink ini dikaitkan dengan sosok Bu Ana. Sebagian menolak karena dianggap terlalu provokatif. Padahal inti demo ini bukan soal tokoh tertentu, melainkan soal kesalahan sistem pemerintahan. Pink hanyalah salah satu media visual untuk menegaskan aspirasi.
Hijau punya makna lain. Identik dengan jaket ojol, hijau merepresentasikan rakyat pekerja. Banyak peserta aksi memakai outfit hijau atau memadukan pink-hijau. Dari sini terlihat jelas bahwa busana sehari-hari pun bisa berubah fungsi menjadi simbol perlawanan. Hijau di demo kalcer jadi simbol "hero"---pahlawan sehari-hari yang rela berkorban. Warna ini juga bawa vibes harapan, seperti oase di tengah panasnya situasi. Jadi, hijau di sini bukan sekadar warna, tapi juga identitas solidaritas.
Kalau kita lihat dari perspektif fashion dan desain, pink dan hijau sebenarnya adalah pasangan komplementer dalam lingkaran warna. Komplementer berarti mereka berlawanan posisi, sehingga ketika digabungkan menghasilkan kontras yang sangat kuat. Kontras inilah yang bikin kombinasi pink-hijau terlihat mencolok, bahkan "tabrakan", tapi justru menarik perhatian.
Dalam dunia fashion, kombinasi warna komplementer sering dipakai untuk menyampaikan pesan berani dan tegas. Jadi wajar kalau pink-hijau dalam demo kalcer terasa kuat secara visual. Ia seakan berkata: "Kami berbeda, tapi kami menuntut untuk dilihat dan didengar."
Fenomena ini juga sejalan dengan pandangan teoretikus budaya Dick Hebdige (1979) dalam bukunya Subculture: The Meaning of Style. Ia menulis bahwa fashion sering menjadi "bahasa" kaum muda untuk melawan dominasi budaya dan politik. Apa yang dipakai tubuh bukan sekadar estetika, tapi juga pernyataan sosial. Dalam konteks demo kalcer, pink-hijau adalah "bahasa tubuh kolektif" yang menyampaikan pesan bahwa rakyat tidak tinggal diam.
Simbol ini bahkan menembus dunia digital. Banyak orang mengganti foto profil media sosialnya dengan tone pink-hijau. Seolah-olah mereka juga "memakai" busana digital sebagai bentuk solidaritas. Dari jalanan sampai timeline, warna pink-hijau bergerak sebagai identitas bersama.
Menurut saya, di sinilah letak kekuatan demo kalcer. Aspirasi tidak hanya disuarakan lewat orasi, tapi juga lewat warna dan busana. Pink-hijau melampaui tren sesaat: ia adalah pengingat bahwa simbol sederhana bisa jadi cara efektif untuk menunjukkan perlawanan.
Pink-hijau bukan sekadar warna---ia adalah suara rakyat yang menolak dibungkam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI