Tulisan ini bukan sekadar menjelaskan, tapi mencoba mengajak pembaca untuk memaknai hidup. Terdengar klise, namun hilangkan dulu anggapan itu dan mulailah memaknai dengan filsafat Heidegger. Bayangkan Anda adalah seorang manusia yang baru "ada" dalam kehidupan. Bayangkan otak Anda seperti ponsel yang di-reset ke pengaturan pabrik, tidak ada apa-apa. Setelah itu, lihatlah sekeliling Anda. Anda akan melihat banyak sekali manusia bekerja tanpa henti---kuliah, berdagang, dan lain-lain. Mungkin Anda akan bertanya: untuk apa mereka melakukan itu semua kalau pada akhirnya akan mati? Mereka ada, namun "ada"-nya itu apa?
Inilah yang menjadi tema besar dalam filsafat Heidegger. Heidegger mencoba bertanya mengenai "Ada". Namun perlu diingat bahwa Ada yang dimaksud di sini tidak sesederhana itu. Mari kita mulai dengan membedakan antara "ada" dan "mengada".
Coba Anda lihat sekeliling: ada baju, kasur, laptop, motor, tembok, atau hewan-hewan, dan pastinya Anda sendiri yaitu manusia. Itulah yang disebut sebagai "mengada", yaitu segala sesuatu yang ada di dunia, bahkan alam semesta. Planet-planet, awan, sungai, rumah, sandal, sikat gigi, dan lain-lain, itu adalah "mengada". Lalu, apa yang membedakan manusia dengan mengada lainnya seperti monyet, sikat gigi, atau sandal? Yang membedakannya adalah: manusia bisa menanyakan "Ada", sedangkan mereka tidak. Karena manusia punya kesadaran dan rasionalitas, maka manusia memungkinkan untuk bertanya tentang Ada.
Sebagai contoh: bayangkan seorang anak kecil ditempatkan di suatu tempat yang asing. Ia akan menangis dan berkata, "Ngapain aku di sini, Ayah?" Sedangkan sikat gigi atau sandal jika diletakkan di tempat yang sama sekali asing, mereka tidak akan berontak atau bertanya, "Ngapain aku di sini?" Itulah yang membedakan kita dengan mengada lainnya.
Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein, dari bahasa Jerman yang berarti "ada di sana". Apa maksudnya? Kita manusia tidak pernah meminta untuk dilahirkan, tidak pernah ditanya terlebih dahulu, "Kamu mau hidup atau tidak?" Tiba-tiba saja kita ada di dunia. Inilah yang disebut faktisitas keterlemparan---bahwa kita seolah-olah dilempar ke dunia tanpa persetujuan.
Namun manusia semakin lama semakin larut dalam keseharian: bekerja, kuliah, pergi ke klub, ke mal, dan aktivitas duniawi lainnya, sampai lupa bahwa kita hidup ini karena dilempar. Kita lupa menanyakan: "Ngapain kita di sini? Bukankah kita dilempar ke dunia ini tanpa tahu alasannya? Lalu mengapa saya bekerja, kuliah, dan sebagainya?" Itulah yang dimaksud dengan Ada.
Bayangkan di pojok kelas ada seseorang bernama Budi. Kita bertanya: kenapa si Budi ada di sana? Mungkin jawabannya karena ingin kuliah. Ya, itu terdengar benar, tapi belum original. Kenapa Budi ada di sana? Karena ibunya melahirkannya. Itu terdengar lebih dalam, tapi masih belum sampai ke akar. Coba pikirkan lagi: Budi tidak pernah ditanya dulu, "Kamu mau hidup atau tidak?" Tiba-tiba saja dia ada di dunia, dan berada di sana. Dia lupa bahwa seharusnya dia bertanya, "Aku ada di sini untuk apa?" Tapi karena terlalu sibuk kuliah, bermain HP, scroll TikTok, atau bekerja, ia melupakan pertanyaan itu.
Seseorang yang bekerja setiap hari dari pagi sampai malam mungkin akan lupa pada pertanyaan Ada-nya: "Ngapain aku di sini, ya?" Namun ketika ia dipecat dan tidak punya kegiatan, ia mungkin mulai merenung: "Untuk apa ya hidup ini? Apa maknanya hidup ini?" Karena pada saat itulah keadaan manusia yang sejatinya muncul: ketika ia merenung dan bertanya soal Ada.
Bayangkan seorang anak kecil yang ditaruh oleh ayahnya di sekolah. Mungkin ia akan menangis, ingin pulang, dan berkata, "Aku nggak mau di sini." Tapi kemudian seorang guru menenangkannya, memberinya mainan, dan sebagainya. Saat itulah ia mulai melupakan persoalan awal "aku nggak mau di sini". Namun ketika ia bosan dengan mainannya, ia akan kembali mengingat persoalan itu. Begitulah manusia: kita dilempar ke dunia tanpa tahu Ada kita untuk apa. Namun saat bekerja, kuliah, dan sebagainya, kita melupakan persoalan itu. Ketika kita dipecat, dikeluarkan dari kampus, atau jatuh dalam hidup, barulah kita kembali sadar: "Ngapain aku ada di dunia?"
Berbeda dengan anak kecil tadi. Ketika dia bosan dan mengingat persoalan awal, dia bisa pulang dan dijemput. Tapi manusia, ketika mengingat persoalan Ada-nya---"Ngapain aku ada?"---kita tidak bisa kembali, tidak bisa pulang, karena kita sudah dilempar ke dunia. Pada saat itulah kita merasakan apa yang disebut Heidegger sebagai Angst, yaitu kecemasan. Kita cemas karena kita sudah ada di dunia, tidak bisa kembali---tidak seperti anak kecil tadi.