Om Malik melanjutkan, saat pelarian ia turun di Surabaya lantas kemudian memilih pulang dan menjadikan pasar sebagai tempat bermainnya. Ia menjual apapun hingga ia sukses menjadi pedagang grosir sekaligus kepala pasar sekarang ini.Â
Ia hanya berpesan, rajinlah berbagi dan giat berusaha. Mungkin itu ajimat kesuksesannya.
Kisah berlanjut masih di tempat yang sama namun dengan wajah yang berbeda. Masih tentang hasratku yang berkeinginan untuk dipuaskan.
Ia, semuran dengan Nek Siti. Kali ini, ia lugas bercerita. Bersapa kami kemudian dan berkenalan. Ia bernama Nek Aminah. Sembari ku tunggu ia merapikan ikannya ke kolboks. Ikan cakalang hasil pembelian dari PPI Panamboang yang hari ini tak ingin ku kunjungi.
Gerak-geriknya terus ku ikuti dengan bola mata yang liar. Sebelum ia menyapa dan mengajak ke lapak, 3 lapak dari milik pak Malik. Duduk kami berhadapan, namun Nek Aminah juga sesekali tak lupa menawarkan dagangan cakalang nya ke konsumen.
Ia berkisah, sejak remaja sudah menginjakan kaki ke pulau Bacan. Umur dalam ingatanya sekira 18 tahun. Mengikuti keluarga yang eksodus karena meletusnya gunung Kie besi. Ternyata ia satu suku seperti aku.Â
Bahasa obrolan kami ganti dengan bahasa suku sejurus kemudian. Nek aminah mempunyai 3 orang anak yang semuanya sudah berkeluarga dan bekerja. Suaminya sudah terlebih dulu pulang. Tinggal ia bersama satu anak yang menemani.
Kata Nek Aminah, di usia senja ini ia harus tetap berjualan. Selain karena ini pekerjaan utamanya, ia juga tak sanggup di rumah. Ia ingin menggerakan badannya agar sehat dan buat keperluan makan.
Ia bertutur, sudah di marahi anak-anaknya berdagang. Tapi nek Aminah tak peduli. Ia harus melakukan ini karena sudah terbiasa. Nek Amina akan berhenti hingga jika benar-benar tak bisa berjalan. Sebab, diam di rumah adalah malapetaka, tak punya duit buat makan.Â
Kali ini, tidak lagi tertampar seperti kisah Nek Siti. Namun, tetap meninggalkan kejanggalan di hati.
                    ******