Mohon tunggu...
Odios Arminto
Odios Arminto Mohon Tunggu... -

Kartunis, humoris dan penulis

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Dari Berita AF to Date ke Hadiah Nobel Indonesia

26 Oktober 2014   12:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:42 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Memaknai sejarah, humor beda dengan yang lain. Tokoh-tokoh yang muncul dan berpentas dalam panggung kehidupan, akan tercatat secara unik dalam bentuk anekdot. Salah satu contohnya di buku “Republik Badut” terbitan Intrans, Malang, Jawa Timur, awal 2014. Anekdot yang bernuansa satir dan menggemaskan itu bisa dijumpai di sana.

Untuk mengenang ceceran sejarah humor yang rada mletho tersebut, mari kita buka sebagian lembaran kenyataan yang tak terkoyakkan tersebut. Kita semua tidak pernah meragukan dahsyatnya imajinasi. Nyaris tiada batas dan tepi untuknya. Buah karya besar manusia dalam bentuk seni budaya, teknologi dan lain-lainnya bermula dari imajinasi. Namun ketika kita dihadapkan pada fakta yang lebih dahsyat dari imajinasi, seperti tak percaya bahwa itu ada dan benar-benar terjadi.

Belum habis nalar kita mencerna sosok tipikal seperti Eyang Subur dengan deretan istri-istrinya yang mengaku kompak dan bahagia (Just Alvin, Metro TV); belum terjawab pertanyaan kita bagaimana pria itu mengelola manajemen perekonomiannya untuk survival keluarga komunitas beserta seluruh anak-anaknya, muncul sosok pria baru dengan inisial AF yang tak kalah sublimnya.

AF atau Ahmad Fathanah yang pernah terjerat kasus korupsi kuota daging sapi impor, praktis telah mematahkan dominasi pemberitaan Eyang Subur. Salah satu poin yang membuat perhatian masyarakat terdobrak (terkoyak?) adalah keterkaitannya dengan sejumlah wanita cantik yang juga menerima aliran dana dalam jumlah yang mencengangkan.

Dengan akal sehat, sulit bagi masyarakat menemukan motif apa di balik keroyalan AF. Para psikolog mencoba menganalisa dari sisi kejiwaan, pemburu koruptor mencari dalih dari sisi penyucian uang, para pengamat politik menelisik dari aspek gratifikasi seks terkait keperluan lobi dan entertainment. Semua tetap menjadi pertanyaan yang tak terjawabkan.

Semua bisa saja meleset, bisa saja benar sebagian atau keseluruhan. Kondisi yang stagnan itu memancing munculnya komentar-komentar kreatif masyarakat; salah satunya berbunyi: "Ada tiga orang yang berinisial AF yang pernah menjadi terkenal, yaitu Aceng Fikri, Ahmad Fathanah dan Alex Ferguson. Yang terakhir bergelar 'Sir', dua sebelumnya bergelar 'Syur...'.”

Fakta juga, bahwa negeri ini menjadi begini. Walaupun Orde Baru telah tumbang, 15 tahun reformasi telah berjalan, praktik korupsi dan oligarki yang semula banyak terjadi di Rezim Soeharto, ditengarai, masih saja tumbuh subur. Senjata ampuh “trisula” untuk memberantas tiga sasaran korupsi, kolusi dan nepotisme – raib entah ke mana. Fakta itu seperti mengindikasikan gerbong reformasi telah dibajak di tengah jalan. Para pembajak berpesta pora mengejar kepentingan pribadi dan kelompok. Rakyat hanya menjadi penonton yang getir dan khawatir karena masa depan bangsa dipertaruhkan dalam ketidakpastian.

Para cerdik cendekia dengan berbagai upaya berharap agar kita semua merenung sejenak. Mengendapkan hati dan menata orientasi. Kembali kepada jiwa murni, menyatukan energi, mempetegas konsep kebangsaan, menyamakan persepsi dan idealisasi. Pertanyaannya, kini pemerintahan di bawah Jokowi-JK, mungkinkah bisa menjadi awal perubahan yang lebih bermutu?

Idealisasi – sebagai cita-cita sakral untuk menggapai kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa, sungguh merupakan perekat perjuangan semua komponen. Seharusnya. Namun, dalam zaman yang dinilai ndugal – acakadut seperti saat ini, pengertian-pengertian idealisasi, ideologi, isme atau apapun dapat saja dimaknai secara tak terduga. Mari kita lihat peta arus besar isme di dunia dan relevansinya bagi para pelaku politik di negeri ini.

LIBERALISME: Anda pemilik dua ekor sapi. Bank menghubungi Anda, mengkapling daging dalam porsi ons dan kilo. Pembeli membayar uang muka dan cicilan berjangka. Syarat dan ketentuan berlaku.

KAPITALISME: Anda punya dua ekor sapi betina. Anda menjual yang satu dan membeli seekor sapi jantan.

SOSIALISME: Anda punya dua ekor sapi. Anda berikan satu ekor sapi itu pada tetangga.

KOMUNISME: Anda punya dua ekor sapi. Pemerintah menyita keduanya dan mengganti Anda dengan jatah susu.

NAZISME: Anda punya dua sapi, pemerintah menyita keduanya dan menembak Anda.

FASISME: Anda pemilik dua ekor sapi. Pemerintah menangkap, mengirim Anda ke kerja paksa dan kedua sapi ke kandang Negara.

MEKANISME (PASAR): Anda memiliki dua ekor sapi, pemerintah menyita keduanya, menembak yang satu, memeras susu sapi yang satunya lagi dan menuangkannya dengan sia-sia.

PRAGMATISME: Anda pemilik dua ekor sapi, dibeli makelar dengan harga kompromi. Pasar langka daging sapi. Harga langsung naik tinggi sekali. Makelar, oknum “pemerintah” dan perusahaan pengimpor daging sapi tersenyum berseri-seri.

***

Pada tahun-tahun 1980-an, LHI juga sangat popular dan hampir meramaikan pemberitaan di koran-koran ibukota maupun daerah. Singkatan atau inisial itu selalu terkait dengan sosok unik bernama Arwah Setiawan. Bedanya, LHI saat itu tak pernah ada kaitannya dengan korupsi atau kuota impor daging sapi karena ia merupakan kepanjangan dari Lembaga Humor Indonesia. Kinerjanya diapresiasi masyarakat karena aktif menyajikan pertunjukan humor bermutu, yang mencerdaskan dan mencerahkan! Kekhawatiran yang ada, bila anak cucu kita kelak melakukan browsing LHI di mesin pencari internet, jawabannya bukan lagi Lembaga Humor Indonesia, melainkan justru mengenai sosok yang lain. Sosok yang juga memuat sub-entry: Darin, Papah, Mamah dan ini sungguh sangat disayangkan.

***

Fakta up to date lain, kontroversi mengenai Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan penghargaan World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation, suatu yayasan antaragama bergengsi di Amerika Serikat, yang telah diberikan pada akhir Mei 2013. Reaksi pro dan kontra bermunculan.

Keputusan itu jelas membuat penasaran semua pihak. Bahkan ada anjuran menarik, sebaiknya penghargaan itu diberikan saja kepada keluarga Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) karena dialah yang paling tepat menerimanya.

Fakta apapun yang kemudian terjadi, jangan sampai bangsa Indonesia jadi bulan-bulanan citra. Setidaknya jangan sampai ironi yang terdapat di lelucon berikut ini, menimpa bangsa kita.

Suatu hari, pada April 1998,Panitia Nobel merencanakan hendak memberi Hadiah Nobel bagi Presiden Soeharto. Salah seorang panitia kemudian menghubungi Pak Harto di Cendana, Jakarta. Berhubung Pak Harto sedang berada di kamar mandi, maka yang menerimatelepon itu adalah Mbak Tutut. Ketika panitia menyampaikan niatnya, Mbak Tutut tampak sangat surprised, karena itu ia menjadi agak gugup. Terutama ketika dikonfirmasi soal nama lengkap Presiden.

“Nama lengkap Bapak ya Romo Soeharto,” jawab Mbak Tutut malu-malu dan terdengar sayup-sayup di telinga panitia.

Beberapa minggu kemudian setelah Panitia Nobel berunding, diumumkan kepada publik dunia, bahwa salah seorang dari wilayah Asia Tenggara yang menerima Hadiah Nobel untuk Bidang Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia adalah Ramos Horta.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun