Mohon tunggu...
Ode Abdurrachman
Ode Abdurrachman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Trading Blogger - Pemerhati Pendidikan | Ketua IGI Provinsi Maluku | Ketua Dikdasmen PDM Kota Ambon Guru, Pengajar, aktivis Muhammadiyah Kota Ambon

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Guru, Nasibmu Dulu dan Kini; Refleksi Hari Guru Nasional

25 November 2012   14:14 Diperbarui: 25 November 2017   14:24 1864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Tak banyak yang tahu jika setiap tanggal 25 Nopember, Persatuan guru Republik Indonesia, (PGRI) berhaul (berhari ulang tahun). sebuah perhelatan yang harusnya diperingati dengan gegap gempita, atau  bahkan sebuah momentum yang pantas diapresiasi dengan setinggi-tingginya, sebab dari para gurulah, bangsa yang besar ini bisa berdiri tegak, kokoh, kuat, tangguh, cerdas dan berdaya juang tinggi, dari sosok gurulah pemberi keteladanan bagi anak bangsa. Setidaknya inilah yang diajarkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) sebagai guru bangsa tempat kita sebagai anak bangsa bercermin, dan bercita-cita.

Sayangnya seperti biasanya tidak banyak ucapan yang muncul di media masa, atau media elektronik, bahkan seakan tenggelam oleh iklan dan ucapan selamat kampanye politik dan iklan media massa. Rupanya semua elemen bangsa harus diingatkan kembali betapa pentingnya menghargai jasa para guru, setara dengan jasa para pahlawan yang telah mendahului kita.

Sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Pada usianya yang boleh dibilang matang, tahun ini puncak perayaan Hari Guru Nasional oleh pemerintah yang ke 67 mengusung tema “Memacu Profesionalisasi Guru melalui Peningkatan Kompetensi dan Penegakan Kode Etik”, guru tidak saja dituntut sebagai tenaga profesional dengan penguasaan berbagai kompetensinya, tetapi harus mampu menjadi teladan bagi tegaknya kode  kode etik di masyarakat, terlebih lagi guru adalah profesi (uswatun khasanah) yang digugu dan ditiru.

Setelah para oknum politisi, jaksa, polisi, aparatur pemerintahan, dan publik figur lainnya yang harusnya menjadi contoh dan taladan bagi masyarakat, dan kini tidak lagi dipercaya dikarenakan perbuatan yang tidak sejalan dengan dedikasi dan integritasnya kepada bangsa ini, benteng bangsa kita yang terakhir ada pada para guru. Sebab di pundak para gurulah harapan satu-satunya generasi penerus bangsa ini, mencontoh dan meniru apa yang dilakukan dan memperhatikan apa yang diajarkan.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa profesi guru kini sangat dibanggakan, betapa tidak  pemerintah dan masyarakat memposisikan profesi guru sangat terhormat baik secara formal maupun sosial. Sejak dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 2 Desember 2004, yang merupakan pengakuan formal atas profesi guru sebagai profesi yang bermartabat.

Boleh dikata sebelumnya nasib guru hanya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tuntutan pengajaran tidak sebanding dengan penghargaan apalagi kesejahteraan. Belum lagi sebagian guru hidup dibawah bayang-bayang tekanan politik, ekonomi dan tuntutan hidup, sehingga banyak guru yang berprofesi ganda. Muncul banyak istilah, ada guru politik, (guru yang nyambi politisi), guru ekonomi (guru yang berdagang), guru jeki (guru nyambi ojek). Semua terpaksa dilakukan oknum guru demi memenuhi tuntutan hidup yang serba tidak pasti.

Namun sejak digulirkannya program yang diusulkan PGRI, untuk mensejahterakan dan meningkatkan kualitas guru dengan sertifikasi guru menjadi tonggak awal bangkitnya kembali gairah guru dalam pengabdiannya. Sebuah apresiasi yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat terhadap profesi guru, dengan adanya reformasi  pengembangan profesi guru meliputi peningkatan kualifikasi dan kompetensi, sertifikasi, pemberian penghargaan, perlindungan dan perbaikan kesejahteraan.

Memang benar masih banyak guru yang hidup dibawah sejahtera, khusunya guru honor dan guru kontrak, bahkan ada diantara mereka ada guru yang masih dibayar murah atau bahkan tidak pernah digaji. Sementara  komitmen dan kinerja mereka di atas rata-rata. Dibutuhkan perhatian lebih pemerintah dalam hal ini instansi terkait, yang wajib melakukan pemerataan dan membuka peluang dan kesempatan yang sama untuk masuk dalam kategori pembinaan karir atau bahkan sertifikasi sebagai upaya untuk mensejahterakan kehidupan para guru.

Di lain pihak sudah banyak guru yang lulus sertifikasi dan dinyatakan sejahtera dari sisi penghasilan, tetapi tidak berbanding lurus dengan kinerja mereka di satuan pendidikan. Butuh pengawasan yang ketat dan evaluasi terhadap kinerja guru yang sudah disertifikasi, bahkan berbagai penelitian menyebutkan bahwa sertifikasi guru tidak lantas mampu meningkatkan kualitas pembelajaran guru di sekolah. Suatu hal yang ironik tentunya.

Sejatinya profesi guru yang ideal adalah mereka yang tetap fokus pada pekerjaanya, senantiasa meningkatkan profesionalitas keguruannya, dan tidak terjuan nyambi pada profesi lainnya. 

Tidak menutup mata, bahwa terkadang tuntutan ekonomi sering menjadi pilihan utama ketika seseorang memilih menjadi guru, biasanya tipe guru ini selalu melihat fee, bonus dan upah, ketika melakukan pekerjanya, dan jika tidak ada, maka tipe guru ini akan loyo dan tidak berselera untuk mengajar dan cenderung setengah hati menjalankan tupoksinya.

Atau bahkan pilihan kedua dari seseorang ketika terjun ke dunia guru adalah semata-mata untuk mencari jabatan, pangkat, kedudukan, atau bahkan posisi kelas tertentu di masyarakat, sehingga kecenderungan menjadi berbeda sendiri, ekslusif, dan superior, sehingga untuk sampai ke posisi tertentu tidak peduli, teman atau kawan, menghalalkan segala cara, pragmatisme dan terkadang memotong kompas untuk memuluskan jalannya, demi jabatan apapun diraihnya. Tipe ini tidak banyak di masyarakat, tetapi jika ada akan sengat kelihatan dari gerak-geriknya. Sesuatu yang tidak pantas disandang oleh guru.

Atau bahkan di antara para guru pada awalnya memilih profesi ini karena panggilan hidup, tipe guru ini adalah sang pengabdi, menjadi guru karena keterpanggilan, tidak peduli ada faktor ekonomi, digaji murah atau bahkan tidak,  tidak peduli akan jabatan tertentu, tetapi menjadi guru adalah panggilan hidup untuk mengabdi, menjadi motor pembaharu, sang pencerah bagi siswa-siswanya, yang pantas digugu dan ditiru, tentunya.

Kita sebagai bangsa membutuhkan tipe guru seperti yang terakhir dibicarakan, sosok guru pengabdi yang mau mengerti dan memahami keinginan siswanya, yang tutwuri handayani (ditengah memberi contoh dan keteladanan).

Seiring berjalannya waktu, kiranya bangsa ini semakin memperhatikan nasib guru, meskipun masih banyak masalah di sekitar dunia guru yang belum teratasi, misalnya pemerataan guru, kompetensi guru dan kualitas para guru. Meskipun kesejahteraan para guru yang perlahan teratasi dengan sertifikasi guru, hal yang paling penting adalah bangsa kita membutuhkan sosok guru yang benar-benar digugu dan ditiru. Guru pengabdi penerang dalam gulita, yang berjasa tiada tara. Selamat Hari Guru...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun