Mohon tunggu...
Octaviana Dina
Octaviana Dina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum\r\n\r\nhttps://octavianadina.wordpress.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Alm. Fauzi Abdullah, Sang Guru Kaum Buruh

3 Mei 2014   07:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : yapthiamhien.org

Momentum hari Buruh Sedunia atau Mayday membuat saya sedikit banyak teringat pada sosok mendiang Fauzi Abdullah, sosok yang semasa hidupnya dianggap sebagai guru kaum buruh. Saya memang tak kenal almarhum secara pribadi. Bertemu muka pun tidak pernah. Namun saya mengenal sosok beliau ketika pada tahun 2009 saat saya sebagai bagian tim periset untuk Yap Thiam Hien Award 2009 menyusun kembali kisah perjuangan seorang Fauzi Abdullah yang dirangkum dari sejumlah riset literatur dan sejumlah wawancara dengan para aktivis dan tokoh yang mengenal baik pribadi dan perjuangan beliau dalam membela kaum buruh di Indonesia. Karena perjuangannya yang tanpa pamrih itu Fauzi Abdullah diganjar Lifetime Achievement Award dari Dewan Juri Yap Thiam Hien Award pada tahun 2009.

Sosok Fauzi Abdullah bukan sosok yang populer meski nyatanya ia adalah aktivis senior buruh yang sudah membaktikan nyaris 30 tahun hidupnya demi perbaikan nasib kaum buruh di Indonesia. Dalam bekerja ia memilih beraksi dari belakang layar. Salah satu strategi dalam perjuangannya memperbaiki harkat buruh adalah dengan membangkitkan kesadaran mereka. Fauzi Abdullahsecara perlahan tapi pasti mengorganisir kelompok-kelompok buruh. Ia menekankan akan pentingnya pengorganisasian buruh. Menurut pendapatnya, jika organisasi buruh sudah solid dan kuat maka buruh akan memiliki kekuatan daya tawar. Fauzi Abdullah beranggapan bahwa perjuangan buruh tidak harus melulu dengan cara berdemonstrasi. Cara konfrontatif terkadang memang perlu, namun adakalanya tidak perlu.

Siapakah sebenarnya sosok Fauzi Abdullah? Fauzi Abdullah –atau biasa dipanggil dengan sebutan Bang Oji- lahir di Bogor, Jawa Barat, pada tahun 1949. Ia berasal dari keluarga saudagar keturunan Arab yang tergolong kaya raya. Meski orangtuanya menginginkannya masuk Fakultas Ekonomi agar kelak dapat melanjutkan usaha keluarga, Fauzi Abdullah justru memilih kuliah di Fakultas Sastra Inggris Universitas Indonesia. Semenjak kuliah, ia sudah menjadi aktivis mahasiswa. Bersama sahabatnya, Wiladi Budiharga, Fauzi membongkar korupsi jatah beras dan gula pegawai di lingkungan fakultas yang berujung pada pemecatan pejabat bersangkutan oleh dekan Fakultas Sastra kala itu.

Meski masih berstatus mahasiswa, pada tahun 1978 Fauzi Abdullah bergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Mulanya ia memang tak diijinkan menangani kasus secara langsung karena tak berlatar belakang pendidikan hukum. Pada tahun 1980 Fauzi mulai bersinggungan dengan dunia buruh saat terjadi aksi pemogokan buruh PT Textra. Ketika itu hampir setiap malam dirinya menyambangi rumah para buruh untuk berdiskusi. Dari situlah ia mulai belajar tentang kehidupan kaum buruh. Ia mengajak mereka untuk membuat solusi bersama. Lambat laun, Fauzi memperoleh kepercayaan dari para buruh dan kian banyak kalangan buruh yang mendatanginya untuk berdiskusi. Fauzi Abdullah lantas mengembangkan pendidikan buruh di tingkat dasar dan menjadikan isu perburuhan sebagai bagian concern LBH.

Fauzi Abdullah kemudian mendirikan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) yang ia rancang untuk menyokong kebutuhan informasi guna memperkuat tuntutan buruh, baik pada perusahaan maupun pada pemerintah. Fauzi memulainya dengan membentuk basis informasi dengan cara membuat kliping dan melakukan riset bersama buruh tentang harga bahan pokok, kebutuhan hidup minimum, serta kesesuaiannya dengan upah buruh. Ketimbang berkonflik secara terbuka, Fauzi lebih memilih untuk menggedor kesadaran buruh untuk melawan melalui edukasi tentang hak-hak asasi buruh, pemahaman atas upah yang layak, dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan Fauzi secara bergerilya di bawah represi militeristik jaman Orde Baru. Pada tahun 1993, Fauzi keluar dari LBH dan lalu bergabung dengan PT. REMDEC –sebuah perusahaan konsultasi manajemen dan pengembangan institusi, khususnya institusi LSM. Penghasilan yang diperolehnya ia pergunakan untuk juga membiayaiLIPS.

Meski terlahir dari keluarga kaya, sosok Fauzi Abdullah sangat lekat dengan kesederhanaan. Citranya identik dengan kaos oblong –yang tak jarang lusuh- dan sendal jepit, yang selalu menjadi bagian dari kesehariannya. Ia juga biasa berjalan kaki ke mana-mana. Penampilannya yang kelewat amat sederhana itu kerap membuatnya dipandang sebelah mata. “Kami pernah sama-sama menyetop taksi, namun semua taksi yang ia stop tak mau berhenti. Rupanya karena penampilannya kelewat sederhana. Buktinya, begitu saya yang menyetop, taksi itu langsung berhenti,” kata Todung Mulya Lubis, SH, saat mengenang sosok Fauzi Abdullah dalam sambutannya selaku ketua penyelenggara pada acara malam penganugerahan Yap Thiam Hien Award 2009 di Jakarta bulan Desember lima tahun silam. Bahkan, konon saat Fauzi diundang ke Korea Selatan untuk menghadiri suatu acara, ia hanya membawa kaos oblong dan sendal dalam tas bututnya. Padahal ketika itu negeri Ginseng tersebut tengah musim dingin. Akibatnya, panitia harus membelikan baju hangat untuk Fauzi.

Fauzi Abdullah memperjuangkan nasib kaum buruh di Indonesia bukan lewat cara yang muluk-muluk. Tidak juga lewat bahasa yang ‘tinggi’ dan rumit. Ia memberikan hatinya dan juga hidupnya. Ia memilih jalan yang sunyi yang jauh dari publisitas. Dalam kenangannya, Sylvia Tiwon – seorang sahabat Fauzi semenjak kuliah di FSUI-mengungkapkan bahwa Fauzi menapaki jalan yang sulit dan berlumpur (secara harafiah maupun simbolik), yang menenteng tas kresek berisi obat-obatan sederhana, bahan pangan, kue dan buku tulis untuk anak-anak para pekerja pabrik, namun juga yang membawa hati dan perasaan yang terilhami tekad untuk belajar dari mereka yang mengalami eksploitasi. Begitu antara lain kenangan yang ditulisnya dari Berkeley, Amerika Serikat, pada November 2009.

Atas kesetiaan dan kekonsistenannya dalam membela hak-hak buruh semenjak tahun 1980, Dewan Juri Yap Thiam Hien Award memutuskan memberikan penghargaan Lifetime Achievement kepada Fauzi Abdullah. Dewan Juri yang terdiri dariTodung Mulya Lubis, SH, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Ifdhal Kasim, Maria Hartiningsih, Rachlan Nashidik, dan Yudi Latif memandang Fauzi banyak berperan dalam mengembangkan gerakan-gerakan buruh. Keberpihakannya pada kaum papa yang tertindas disampaikan melalui pilihan-pilihan dan caranya menghidupi hidup yang serba sederhana dengan penuh kejujuran dan ketulusan hingga detik akhir hidupnya. Semua itu menjadikannya sebagai sosok pekerja hak asasi manusia yang layak diganjar anugerah Yap Thiam Hien Award.

Sayang, Fauzi tak sempat mendengar keputusan Dewan Juri yang disampaikan melalui isterinya akibat sakit yang menderanya.Pada tanggal 27 November 2009 Fauzi Abdullah menutup mata untuk selamanya. Maka pada momentum peringatan hari Buruh Sedunia kali ini, patutlah kita menyisihkan sedikit waktu untuk mengenang sosoknya yang amat bersahaja namun telah banyak berbuat dan bekerja dengan penuh kesungguhan demi perjuangan kaum buruh di Indonesia.

***

Jakarta, 2 Mei 2014

Sumber referensi :

-Fauzi Abdullah, Guru Sejati Kaum Buruh, dalam Buku Acara Malam Penganugerahan Yap Thiam Hien Award 2009.

- 20 Tahun Wajah HAM Indonesia 1992-2011 (Yayasan Yap Thiam Hien, 2012)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun