Mohon tunggu...
Febrina Octavia
Febrina Octavia Mohon Tunggu... Bidan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Untuk Sahabat Perantau, Tetaplah Bertahan di Sana Selagi Masih Bisa

1 Maret 2018   20:28 Diperbarui: 1 Maret 2018   20:35 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar 4 bulan yang lalu aku masih tinggal di keramaian kota yang bisa dibilang tanah rantau bagiku. Tepatnya di daerah Ciledug, Tangerang. Aku bekerja di salah satu Rumah Sakit sebagai bidan. Aku dan temanku yang juga perantau tinggal di rumah kontrakan yang bisa dihuni oleh 4 orang (indekost). Kamu yang pernah merasakan sebagai anak kost pasti mengetahui bagaimana keseharian anak kost. 

Sepulang berdinas biasanya aku dan teman-teman bisa bersantai, melakukan kegiatan yang menurut kami bisa menyenangkan hati untuk melepas kepenatan setelah melayani pasien-pasien di Rumah Sakit. Tiduran sambil mendengarkan musik, melakukan perawatan untuk mempercantik diri, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Tidak perlu repot-repot untuk memikirkan apa yang akan dimasak, kalau lapar tinggal beli di warteg (murah meriah). Dan biasanya saat sudah gajian, walaupun gajinya tidak seberapa, kami jalan ke mall berbelanja apa yang kami inginkan. Makan dengan menu yang sedikit berbeda dari biasanya (perbaikan gizi dalam istilah anak kost), nonton di bioskop, karaokean, dan masih banyak hal lain yang menyenangkan. Kurang lebih seperti itulah gaya hidup anak kost setiap harinya.

Akan tetapi semuanya itu terhenti begitu saja saat aku mendengar informasi lowongan pekerjaan di salah satu Rumah Sakit yang ada di daerah sekitar kampung halamanku. Yang ada di benakku saat itu adalah bekerja di Rumah Sakit, dekat dengan keluarga, membuat orangtuaku bangga dengan melihatku mengenakan seragam putih bersih saat berangkat kerja, karena itu adalah impianku dari dulu sejak aku menyelesaikan perkuliahanku dari D3 Kebidanan. 

Dan tanpa berfikir panjang, aku mengambil keputusan yang salah. Aku resign dari pekerjaanku yang saat itu belum lama kujalani (masa kerja 7 bln) dan menurutku sebenarnya sudah nyaman disana. Banyak masukan dari teman-teman untuk memikirkan lagi apa tindakanku itu sudah benar atau tidak. Tapi semuanya ku abaikan, dan aku tetap memilih untuk pulang kampung.

Selama 1-2 minggu di kampung, terasa masih menyenangkan. Melepas rindu dengan orangtuaku, saudaraku, keluarga lain dan juga suasana kampung halamanku yang sudah lama kutinggalkan (kira-kira 2 tahun). Sembari menunggu panggilan kerja dari Rumah Sakit yang kemarin membutuhkan tenaga kerja itu, aku menghabiskan hariku dengan kegiatan yang sudah jauh berbeda saat aku masih di tanah rantau dulu. Bangun pagi tidak mungkin lagi bisa jam 8 seperti saat masih nge-kostkarna harus membantu Inong (Ibu) memasak dan juga membereskan rumah.

Hari berganti hari, sekitar 1 bulan dikampung, suasananya sudah sedikit berbeda. Kedua adikku yang saat itu juga belum mendapat pekerjaan sepulang dari tanah rantau, hal ini mungkin membuat Among (Ayah) mulai stress memikirkan kami anak-anaknya yang pengangguran. Jika aku juga diposisikan di posisi Ayah sebagai orang yang bertanggungjawab untuk kebutuhan keluarganya sehari-hari, mungkin aku juga tidak akan bisa bersikap santai. 

Biaya makan sehari-hari, biaya sekolah adikku yang masih duduk di kelas 3 SMP, semua itu akan didapat darimana jika tidak ada pemasukan? sementara Ayah hanyalah seorang Tukang (Kuli Bangunan) dan mengelola sawah peninggalan dari nenek. Terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, mau tidak mau aku dan adikku harus melakukan kegiatan yang kurang lebih 7 tahun tidak kulakukan yaitu membantu orangtuaku di sawah.

Tentang sawah, pekerjaan yang menurutku membosankan dan memerlukan tenaga lebih yaitu salah satunya membajak secara manual dengan menggunakan cangkul (untuk mengurangi biaya bajak sawah dengan menggunakan traktor). Selama 2 minggu lebih, kami melakukan pekerjaan itu setiap hari, dan memang benar kami bisa menyelesaikan pekerjaan itu seluas 11 rante. 

Terik matahari yang begitu panas membuat kulitku semakin kusam, bahkan untuk sekedar melakukan perawatan yang mudah seperti luluran saja tidak sempat karena sepulang dari sawah masih harus membereskan rumah dan membantu Ibu memasak untuk makan malam. Tak jarang setiap malam sebelum tidur, dibalik selimutku aku menangis menyesali jalan hidup yang kupilih. Kenapa aku begitu bodoh? 

Kenapa tidak memikirkan dulu apa yang akan terjadi kedepannya jika aku mengambil keputusan itu? Kenapa tidak mendengarkan saran dari teman-temanku? Kenapa aku memilih untuk tinggal dikampung saja? Ahh, penyesalan memang selalu datangnya di akhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun