Saya tak menyangka perjalanan kecil ke lereng Gunung Merapi akan memberi kesan yang begitu dalam. Bukan karena jalannya yang curam, bukan pula karena udaranya yang dingin menusuk, melainkan karena sebuah makam tua yang berdiri anggun di atas Bukit Turgo, menghadap langsung ke gagahnya Gunung Merapi.
Makam itu dipercaya sebagai petilasan atau tempat singgah Syekh Jumadil Kubro, sosok penting dalam sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa dan leluhur dari para Wali Songo. Tak hanya menjadi tempat ziarah, makam ini juga perlahan menjelma sebagai titik tenang tempat orang-orang datang bukan sekadar untuk berdoa, tapi untuk diam sejenak dan menepi dari riuh dunia.
Bukit Turgo terletak di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Sleman, Yogyakarta. Ketinggiannya mencapai sekitar 1.000 mdpl. Dari bawah, tak terlihat jelas apa yang ada di puncak, hanya kabut tipis yang menari di antara pepohonan pinus dan suara burung yang seolah mengiringi langkah.
Trek menuju atas bukan main-main. Meski tak sepanjang jalur pendakian gunung, jalurnya tetap menantang bagi yang tak terbiasa. Tapi mungkin itu justru yang membuat perjalanan ini terasa spiritual: kau menapaki jalan setapak yang sunyi, tertatih, pelan-pelan melepaskan dunia di bawah sana.
Begitu tiba di atas, aku terdiam cukup lama. Bangunan kecil berpagar kayu, beberapa nisan, dan aroma dupa yang samar menyambut. Tak banyak orang, tak ada keramaian. Hanya suara angin dan gema bacaan doa dari seorang bapak tua yang duduk bersila di sudut bangunan. Semuanya terasa sakral dan damai.
Ada banyak versi tentang di mana sebenarnya makam Syekh Jumadil Kubro berada. Ada yang menyebutkan di Mojokerto, bahkan di Semarang. Namun masyarakat di sekitar Bukit Turgo meyakini bahwa di sinilah beliau pernah menetap atau bersemedi dalam perjalanannya berdakwah. Maka, meski bukan makam utama, tempat ini tetap dianggap suci dan menjadi tujuan ziarah bagi banyak orang.
Dan menurut saya, tak penting benar apakah jasad beliau dimakamkan di situ atau tidak. Yang jauh lebih bermakna adalah warisan spiritual dan ketenangan yang ditinggalkan di tempat ini.
Tempat ini juga sangat cocok untuk menyendiri atau bahkan menyelesaikan tugas. Ada banyak spot datar, tenang, dan alami di sepanjang jalur menuju puncak. Saya sempat duduk cukup lama menulis catatan dan mendesain draft artikel ini di sana. Jaringan internet masih bisa dijangkau, dan suasananya jauh dari bising kafe atau hiruk pikuk kota.
Ternyata, tempat spiritual seperti ini bisa juga menjadi ruang produktivitas. Mungkin karena kita tak hanya bekerja dengan otak, tapi juga dengan hati yang damai.
Yang menarik, pemerintah desa dan masyarakat setempat mulai sadar akan potensi wisata religi ini. Akses ke Bukit Turgo mulai dibenahi, jalur pejalan kaki diperkuat, dan informasi penunjuk jalan diperjelas. Namun semua itu tetap dilakukan dengan semangat menjaga kesakralan tempat.