Anak-anakku. Baru sehari pesantren ini kalian tinggalkan. Terasa sunyi menggelayut. Tak terdengar canda-tawa. Jeritan atau tangisan yang hanya terjeda sebentar.
Saat azan berkumandang, semua terasa melanggut. Tak ada yang berlarian berebut kran. Wudhu adalah sebuah pertaruhan. Untuk menjadi yang tercepat. Mengumandangkan iqamah.
Suara berisik. Begitu kami rindukan. Saat shalat jamaah ditunaikan. Si kecil yang tak mau diatur. Sementara yang besar menjadi gusar dengan kebandelannya. Tapi itulah yang membuat pesantren ini hidup.
Kami jauhkan kesan miring atas panti asuhan. Seolah-olah kalian harus dikasihani habis-habisan. Tidak! Kalian dilatih untuk mandiri. Bukan untuk dikasihani.
Bekal kasih sayang dari ustaz dan ustazah sudah cukup berlebih. Ditambah ilmu agama. Agar kalian dapat memaknai nilai-nilai kehidupan. Ilmu pengetahuan dan sekolah. Agar kalian memiliki bekal akademi yang baik. Bekal keterampilan. Agar kalian bisa mandiri. Menciptakan peluang kerja sendiri. Tanpa harus bergantung kepada orang lain.
Anak-anakku. Saat inilah saya bisa menangis. Berucap syukur tiada henti. Sebab saya lebih beruntung dibandingkan kalian. Dimana sejak kecil kami diasuh oleh ayah dan ibu.
Sementara Dina, Jerri, atau Tantri, tak pernah tahu siapa orangtuanya. Bagas yang ganteng. Izzah yang cerdas. Halim yang pemalu. Tak pernah tahu dimana ayah atau ibunya berada.Â
Kalian membawa cerita duka masing-masing. Kamilah yang memastikan. Bahwa duka itu harus usai. Berganti dengan tumbuhnya asa atas masa depan yang lebih baik.
Meski sulit. Kami tak akan pernah lelah untuk membelai kalian. Menghibur saat kalian merajuk. Mengingatkan sampai menghukum saat kalian melakukan kesalahan. Memberi pujian dan penghargaan. Saat kalian menorehkan prestasi.Â