Mohon tunggu...
Nur wahyu Safitri
Nur wahyu Safitri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Evaluasi Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia: Arus Balik Dalam 100 Hari Pemerintahan Baru

22 April 2025   15:56 Diperbarui: 22 April 2025   15:53 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia selama 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai mengkhawatirkan oleh Amnesty International I

Salah satu indikasi awal dari kemunduran penegakan HAM terlihat dari pernyataan Menko Polhukam, Yusril Ihza Mahendra, yang menyangkal adanya pelanggaran berat HAM di masa lalu. Meskipun pernyataan itu kemudian diralat, arah kebijakan yang cenderung menafikan sejarah menjadi pertanda buruk. Penyangkalan terhadap tragedi seperti penculikan aktivis 1998 menunjukkan lemahnya komitmen terhadap keadilan sejarah. Pemerintah berdalih untuk fokus ke masa depan, namun tanpa penyelesaian masa lalu, luka sosial tidak bisa sembuh. Amnesty menyebut bahwa hal ini memperkuat budaya impunitas yang sudah mengakar. Jika pelanggaran masa lalu diabaikan, besar kemungkinan kasus serupa akan kembali terulang. Oleh karena itu, pendekatan yang menyeluruh dan adil terhadap sejarah menjadi sangat penting.

Kekerasan oleh aparat menjadi sorotan utama dalam laporan Amnesty sepanjang 100 hari pemerintahan baru. Amnesty mencatat sedikitnya 17 warga sipil tewas dalam kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh anggota Polri dan TNI. Kasus terbaru melibatkan penembakan pengusaha rental mobil oleh anggota TNI di Tol Tangerang-Merak. Di samping itu, insiden di Semarang dan Deli Serdang menunjukkan lemahnya pengawasan serta sikap tertutup institusi keamanan. Alih-alih transparansi, publik justru disuguhi narasi pembenaran terhadap tindakan aparat. Budaya "oknum" yang terus digunakan untuk menutupi tanggung jawab institusional memperparah kondisi. Amnesty menegaskan bahwa tanpa reformasi institusi dan akuntabilitas tegas, pelanggaran akan terus berulang.

Pembatasan kebebasan berekspresi juga meningkat drastis dalam 100 hari ini. UU ITE kembali menjadi alat represi terhadap warga yang menyuarakan kritik. Kasus Septia Dwi Pertiwi menjadi contoh nyata bagaimana kritik terhadap ketidakadilan di tempat kerja bisa berujung jeratan hukum. Pemerintah bahkan mengekang jurnalis yang meliput program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan tindakan represif. Kamera dirampas, liputan dihapus, hingga siswa dipaksa meminta maaf karena mengkritik menu makanan. Komentar pejabat yang merendahkan suara rakyat memperparah situasi dan menciptakan atmosfer anti-kritik. Bahkan anggota DPR yang bersuara kritis terhadap kebijakan pemerintah turut mendapatkan tekanan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional turut menimbulkan konflik dengan masyarakat adat. Proyek food estate di Papua dan Sumatra Utara dinilai merampas hak atas tanah tanpa konsultasi yang bermakna. Proyek Eco-City Rempang juga berujung pada penggusuran dan intimidasi terhadap warga lokal. Hak nelayan pun terlanggar akibat proyek pagar laut yang menghambat akses mereka ke sumber penghidupan. Pemerintah dinilai abai terhadap prinsip keadilan sosial dalam pelaksanaan proyek-proyek tersebut. Amnesty mendesak agar pembangunan dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan menghormati hak-hak masyarakat lokal. Kegagalan negara dalam melindungi kelompok rentan menunjukkan lemahnya orientasi HAM dalam kebijakan pembangunan.

Masalah diskriminasi berbasis gender juga menjadi sorotan dalam 100 hari pemerintahan baru. Pergub DKI Jakarta yang membolehkan poligami bagi ASN justru disambut positif oleh Mendagri Tito Karnavian. Pernyataan tersebut dianggap merendahkan perempuan dengan dalih perlindungan rumah tangga. Komite HAM PBB sudah lama menyerukan penghapusan praktik poligami karena bertentangan dengan prinsip kesetaraan. Di sisi lain, perempuan masih mengalami kesulitan dalam mengakses hak perceraian, terutama jika berada dalam relasi kekerasan. Hal ini menunjukkan inkonsistensi antara retorika perlindungan dan realitas kebijakan yang diskriminatif. Pemerintah seharusnya memperkuat perlindungan terhadap hak perempuan, bukan justru membiarkan regulasi yang memperkuat ketimpangan.
Kebebasan beragama bagi kelompok minoritas juga terus mendapatkan tekanan. Setidaknya tiga kasus intoleransi dilaporkan terjadi selama 100 hari pemerintahan ini. Jemaah Ahmadiyah dilarang berkumpul di Kuningan, jemaat Kristen dilarang merayakan Natal di Cibinong, dan penolakan pembangunan gereja di Cirebon masih terjadi. Negara dinilai gagal menjamin perlindungan terhadap kebebasan beragama yang dijamin konstitusi. Amnesty menyoroti bahwa tidak hanya negara, tetapi aktor non-negara juga turut berperan dalam diskriminasi. Namun sayangnya, negara cenderung membiarkan tindakan tersebut tanpa sanksi yang jelas. Penegakan HAM akan sulit terwujud jika intoleransi masih dibiarkan merajalela di tengah masyarakat.

Referensi: https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/arus-balik-hak-asasi-manusia-di-100-hari-pemerintahan-baru/01/2025/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun