Mohon tunggu...
Nurul Komarisari Apriliani
Nurul Komarisari Apriliani Mohon Tunggu... Konsultan - Semangat Bekerja

Hidup adalah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Membangun Pendidikan Berkarakter

4 Juli 2013   20:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:00 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Membangun Pendidikan Berkarakter

Dunia memang sedang mencari keseimbangan. Ditengah maraknya fenomena perilaku amoral yang melibatkan peserta didik sebagai pelakunya, seperti seks pra-nikah, video porno, penyalahgunaan NAPZA dan minuman keras, tawuran, kekerasan perploncoan, penghinaan guru dan sesama murid melalui facebook. Bahkan kasus-kasus korupsi, kolusi dan manipulasi yang prevalensinya banyak melibatkan orang-orang terdidik dan terpelajar. Hal ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan yang idealnya melahirkan generasi-generasi terdidik dan beretika sekaligus menjadi musuh utama fenomena-fenomena perilaku amoral tersebut.Salah satu definisi karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002), yaitu sekumpulan karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan seseorang dan membantu dirinya untuk dapat berfungsi secara moral. Dikarenakan sifat karakter yang plural, maka beberapa ahli pun membagi karakter itu ke dalam beberapa kategori. Peterson dan Seligman (2004) mengklasifikasikan kekuatan karakter menjadi 6 kelompok besar yang kemudian menurunkan 24 karakter, yaitu kognitif (wisdom and knowledge), emosional (courage/kesatriaan), interpersonal (humanity), hidup bersama (justice), menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan (temperance), dan spiritual (transcendence). Di Indonesia, sebuah lembaga yang bernama Indonesia Heritage Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada anak-anak untuk menjadikannya pribadi berkarakter. Megawangi (dalam http://ihfkarakter.multiply.com/journal) menamakannya “9 Pilar Karakter”, yakni cinta Tuhan dan kebenaran; bertanggung jawab, kedisiplinan, dan mandiri; mempunyai amanah; bersikap hormat dan santun; mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama; percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah; mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan; baik dan rendah hati; mempunyai toleransi dan cinta damai. Sedangkan pemahaman moral sendiri menurut Damon (1988) adalah aturan dalam berperilaku (code of conduct). Aturan tersebut berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial yang bersifat universal. Moral yang bermuatan aturan universal tersebut bertujuan untuk pengembangan ke arah kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan manusia yang harmonis (interpersonal). Lebih lanjut, Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang.

Faktor determinan karakter dapat berupa biologis/ herediter. Penelitian-penelitian untuk mengungkap pengaruh ini biasanya dilakukan pada subjek anak kembar dan adopsi serta bersifat longitudinal. Beberapa ahli telah membuktikan adanya pengaruh genetis yang cukup kuat terhadap karakter anak (Deater-Deckard & O’Connor, 2000; Plomin and McGuffin, 2003). Beberapa dimensi karakter seperti empati dan simpati juga banyak diamati melalui perspektif neurosains yang lebih mengarah kepada herediter (Caspi, dkk., 2003; Decety & Chaminade, 2003; Harris, 2003). Tidak kalah pentingnya adalah pengaruh komunitas terhadap karakter anak-anak dan remaja. Televisi, sebagai salah satu bentuk media massa di dalam masyarakat, memberikan fasilitas peniruan melalui program-programnya. Pada umumnya, anak-anak dan remaja akan lebih mudah menerima informasi yang dilihat dan didengar. Anak dan remaja disajikan pada gambaran situasi tertentu yang disertai dengan reaksi yang seharusnya dilakukan, dan juga akibat dari reaksi tersebut. Apabila anak dan remaja terus-menerus melihat adegan-adegan negatif, maka mereka akan menganggap adegan tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Jika hal ini terus berlanjut, anak dan remaja akan melakukan adegan yang serupa. Dampak proses imitasi ini telah banyak diteliti, dalam kaitannya dengan perilaku-perilaku tertentu seperti agresi dan kekerasan (Huesmann, dkk., 2003; Robinson, dkk., 2001). Di sisi lain, televisi juga membentuk karakter positif anak, yaitu dalam hal perilaku prososial dan altruis. (Mares & Woodard, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial mempunyai andil dalam pembentukan moral dan karakter anak dan remaja.Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan karakter moral seseorang akan dipengaruhi oleh interaksi antara bawaan yang bersifat herediter dengan faktor-faktor yang ada di lingkungan.

Penulis Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun