Mohon tunggu...
Nurul Noe
Nurul Noe Mohon Tunggu... -

life's beautiful.. keep smile :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Industri dan Pendidikan Anak Usia Dini

21 September 2012   09:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:05 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Entah kemana kan ku bawa diriku pergi
Karena ku terjebak dalam sistem industri
Lahir, sekolah, bekerja, mati…
Sistem hidupku berpatok pada materi"

Begitu sepengal lirik lagu Bondan Prakoso dan Fade 2 Black berjudul “SOS”, yang beberapa hari terakhir ini sering aku putar di mp3 player di HPku.

Sejak kemarin aku merasakan emosi meletup-letup dalam hati dan membuat dada agak sesak untuk bisa sekedar bernafas lega tanpa beban. Bersyukur aku masih bisa menahan emosi agar tidak bertindak bodoh seperti mungkin memaki-maki dan menceramahi orang yang nota bene adalah guru di sekolah TK anak pertamaku. Ah, dalam hati aku berfikir lagi; “Siapa aku? Bahkan jika aku punya cukup ilmu untuk mengimbangi seorang guru TK dalam hal mendidik anak, bukan perilaku yang baik untuk bertindak demikian”. Maka menulis seperti ini adalah salah satu cara efektif untuk aku meluapkan emosi dan menuangkan apa yang ada di fikiranku.

Sejak awal tahun ajaran baru 2011 lalu, aku memutuskan  untuk memasukkan anakku ke sekolah Taman Kanak-Kanan (TK). Bukan karena agar anakku menjadi pintar menulis, membaca dan berhitung sebagai persiapan masuk Sekolah Dasar. Akan tetapi karena aku ingin anak-anakku bisa bersosialisasi, berinteraksi dengan teman-teman baru di sekolah, dengan sebaya, atau dengan orang-orang yang lebih tua seperti guru-gurunya. Bahwa manusia adalah mahluk sosial yang tidak akan bisa hidup sendirian, bahwa dalam hidup bersama manusia lain kita tidak bisa bertindak mengedepankan ego, bahwa kita harus bisa bertoleransi, saling menyayangi, menghargai dan bertukar fikiran dengan manusia lain dalam mejalani hidup yang penuh dengan masalah-masalah. Bahwa aku mempersiapkan anakku sejak dini untuk bisa hidup ditengah dunia yang mungkin kekejaman-kekajamanya tidak bisa ditemui di lingkup kecil keluarga. Maka tidak terlalu masalah buatku jika setelah lebih dari setahun anakku di sekolah dan belum bisa membaca, menulis dan berhitung.

Aku menjadi begitu geram saat kemarin, 20 September 2012 yang bertepan dengan PILGUB DKI Jakarta, aku mengambil cuti dan hanya beristirahat seharian di rumah. Sepulang anakku sekolah, salah satu tetanggaku (mempunyai anak sebaya anakku dan sekolah di tempat yang sama dengan anakku) datang ke rumah, menyampaikan pesan untukku dari guru di sekolah anakku. “Mbak, maaf saya dititipi pesan dari bu gurunya anak-anak, katanya Daffa’ disuruh belajar di rumah. Katanya, sebentar lagi masuk SD dan sampai sekarang belum bisa membaca, menulis, berhitung”. Aku hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada tetanggaku yang baik itu. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku menjadi geram, bukan hanya karena keharusan agar anak-anak usia dini harus bisa ‘calistung’ sebelum masuk Sekolah Dasar (SD), tapi juga rasanya bukanlah hal yang baik menitipkan pesan seperti itu melalui orang lain. Bukankah lebih baik jika gurunya bicara langsung denganku sebagai orang tua muridnya?

Lagi-lagi aku teringat lirik lagu SOS bait pertama;

“Terhimpit pelik strata kasta manusia
Masih terjepit lingkup hitam membuai mata
Mereka masuk, melesat, menyebar
Dari akar sisa generasi yang tersebar”

Ya, aku tidak ingin menjebak atau memaksa anak-anakku untuk masuk dalam lingkaran setan system industri, yang sekarang aku sadar ternyata system itu memang sudah dimulai dari pendidikan usia dini. Para orang tua yang menuntut anak-anaknya untuk bisa meraih prestasi akademik di sekolahnya, untuk jaminan bahwa kemudian bisa lulus dengan nilai memuaskan, sehingga mudah mendapat pekerjaan untuk masa depan. Oh tidak! Keinginan para orang tua tersebut akhirnya diikuti pleh para guru yang kemudian terkesan memaksa anak-anak untuk BISA! Mungkin tidak ada salahnya jika hal itu diterapkan pada waktu dan dengan cara yang tepat. Tapi jika kemudian tuntutan itu dipaksakan pada anak-anak yang usianya masih dini, dengan memberi Pekerjaan Rumah (PR) setiap hari, tidakkah itu malah merenggut hak anak-anak yang dunianya adalah bermain? Bukankan jika anak-anak merasa terpaksa justru akan mempengaruhi perkembangan otak kanan anak sehingga justru akan mebunuh kreatifitasnya? Dan bukankah keterpaksaannya di usia dini kelak akan membuat mereka trauma sehingga justru menimbulkan perilaku ‘malas membaca’?

Kepalaku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan, sejenak aku berfikir ulang, “Ah! Mungkin aku saja yang sok tau, sok pintar. Mungkin ego dan rasa marahku yang memicu otakku untuk mencari alasan sebagai pembenaran-pembenaran atas opiniku tentang pendidikan anak usia dini. Padahal sebenarnya memang sudah seharusnya anak-anak mengikuti perkembangan jaman dalam dunia yang penuh persaingan”.

Aku menjadi semakin dilema. Aku ingat, aku punya teman seorang pengajar PAUD di Jakarta, yang juga seorang aktivis dan pengurus SUPERSEMAR. Setelah berdiskusi dengannya dan googling berbagai artikel tentang pendidikan anak usia dini, aku semakin yakin bahwa pendapatku benar. Bahwa anak-anak harus belajar sesuai tahapan usianya, bahwa tidak mungkin seorang anak yang belum bisa berjalan kita ajak untuk berlari, bahwa seharusnya adalah membiarkan anak berkembang alami seperti merangkak, berjalan dengan bantuan, berjalan tegak, baru kemudian berlari.

Tentang kekhawatiran guru anakku karena anakku belum bisa calistung padahal sebentar lagi masuk SD, sebenarnya aku benci sekali dengan sekolah-sekolah negeri yang menetapkan aturan tes saringan masuk. Padahal sudah jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Peyelenggaraan Pendidikan.

Berikut sebagian bunyi PP 17 tahun 2010 itu:

Pasal 69
(5) Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain.

Pasal 70
(1) Dalam hal jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung satuan pendidikan, maka pemilihan peserta didik pada SD/MI berdasarkan pada usia calon peserta didik dengan prioritas dari yang paling tua.
(2) Jika usia calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka penentuan
peserta didik didasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik yang paling dekat dengan satuan pendidikan.
(3) Jika usia dan/atau jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sama, maka peserta didik yang mendaftar lebih awal diprioritaskan
.

Sekarang aku merasa tidak hanya anakku yang diperlakukan tidak adil, tapi semua anak-anak yang dipaksakan. Tetapi kemana aku harus mencari keadilan itu? Meneriakkan kepada dinas terkait utntuk member sanksi tegas kepada sekolah-sekolah usia dini yang memaksakan anak belajar calistung, dan kepada Sekolah-Sekolah Dasar Negeri/Madrasah Ibtida’iyah Negeri yang menerapkan ujian tes saringan masuk?

Ah, sudahlah! Yang jelas, aku tidak akan membiarkan anak-anakku terjebak pada sistem industri; lahir, sekolah, bekerja, mati, seperti dalam lagu itu. Anak-anakku akan belajar sesuai tahapan usianya, bahkan jika mereka tidak dapat masuk ke sekolah negeri sekalipun, masih banyak yayasan swasta yang berkualitas dan tidak hanya berorientasi pada uang. Aku percaya nilai-nilai cinta dan kasih sayang yang aku tanamkan pada anak-anakku akan membuat mereka mampu bersosialisasi dengan baik dan akan menghantarkan mereka pada kesuksesan di masa depan, karena prestasi akademis di sekolah tidak secara otomatis membuat mereka sukses dalam hidup.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun