Mohon tunggu...
Nurul Indriyani Rohadi
Nurul Indriyani Rohadi Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Masyarakat

Sebagai Mahasiswa yang aktif dalam kegiatan sosial dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

UU TPKS dan Realita Ketimpangan Gender di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan

19 Juni 2025   11:36 Diperbarui: 19 Juni 2025   11:36 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrai International day for the elimination of violence against women (Sumber: Freepik) 

Sebagai seorang perempuan muda yang aktif dalam kegiatan sosial dan pendidikan, saya seringkali menghadapi kenyataan pahit tentang bagaimana ketimpangan gender masih begitu nyata di sekitar kita. Ketika Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan pada April 2022, saya merasa ada lega di tengah keraguan publik yang selama ini lelah menunggu keadilan. UU ini disebut sebagai payung hukum yang komprehensif karena mengatur soal penghukuman pelaku, tetapi juga perlindungan korban dan pencegahan kekerasan seksual.

Harapan saya yang tinggi terhadap UU TPKS ini perlahan dihadapkan pada kenyataan yang lebih kompleks. Meskipun secara normatif hukum sudah berpihak kepada korban, dalam praktiknya tidak segampang itu. Saya mempunyai beberapa teman yang menjadi penyintas kekerasan seksual, dan salah satu hal yang paling menyakitkan bagi mereka bukan hanya kejadian itu sendiri, tetapi proses pelaporan yang melelahkan dan membuat trauma kembali terulang. Korban seringkali ditanya, "Kamu yakin ini kekerasan?", atau malah disalahkan atas cara berpakaian. Hal-hal seperti ini membuat saya sadar bahwa sistem hukum dan aparat penegak hukum kita masih jauh dari berperspektif gender.

Saya merasa UU TPKS masih berjalan sendiri tanpa dukungan sistem yang menyeluruh.  Anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan perlu ada terobosan untuk memaksimalkan layanan hak-hak korban.
"Saat ini belum tersedia peraturan pelaksana UU TPKS dan ketersediaan, kapasitas dan kompetensi aparat penegak hukum dan pendamping korban masih terbatas dan belum merata di seluruh Indonesia," kata Siti Aminah Tardi.

"Dalam pemantauan Komnas Perempuan, kasus-kasus yang dilaporkan terjadi setelah UU TPKS tidak serta-merta dapat diproses dengan UU tersebut," kata Anggota Komnas Perempuan Bahrul Fuad

Tanpa aturan turunan, pelatihan aparat, dan edukasi publik yang konsisten, UU ini bisa saja menjadi undang-undang yang hanya "baik di atas kertas". Di sisi lain, data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2025 menunjukkan  10.768  kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat, dengan 12.532 jumlah kasus kekerasan. Ini jelas bukan angka kecil, dan saya yakin masih banyak kasus yang tidak tercatat karena korban memilih diam. Ini membuktikan bahwa tantangan besar bukan lagi soal regulasi, tapi soal keberanian kita sebagai bangsa untuk berubah secara struktural dan kultural.

Saya pribadi melihat bahwa akar dari semua ini adalah masih kuatnya budaya patriarki di Indonesia. Budaya yang sering menempatkan perempuan sebagai "penjaga moral" dan menyalahkan mereka ketika terjadi pelanggaran. Padahal, tidak pernah ada pembenaran untuk kekerasan, dalam bentuk apa pun. Selama masyarakat kita belum bisa meninggalkan cara pandang tersebut, selama itu pula perempuan akan terus berada dalam posisi rentan, meskipun secara hukum mereka dilindungi.

Sebagai generasi muda, saya percaya perubahan bisa dimulai dari cara kita melihat dan bersikap terhadap isu ini. Kita harus menjadi bagian dari perubahan, sekecil apa pun itu: mulai dari tidak mengolok-olok korban, tidak menyebar narasi dengan menyudutkan perempuan, hingga berani bersuara saat melihat ketidakadilan. UU TPKS memang memberi kita harapan, tetapi perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender sejati tidak akan berhenti di meja parlemen. Ia harus hidup dalam hati, pikiran, dan tindakan kita sehari-hari.
 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun