Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pluralisme Hukum dan Upaya Menemukan Keadilan Agraria

9 November 2018   15:59 Diperbarui: 9 November 2018   19:14 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber daya agraria adalah arena kontestasi para pihak, ada masyarakat adat, kelompok bisnis dan pemerintah. Banyak contoh kasus bisa disebut dari "sabang sampai merauke" , misalnya Kasus PT Freepot di Papua, kasus pertambangan emas dan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Lunar di Kalimantan Barat, Kasus tanah PT Victor Jaya Raya di Sumatera Utara, kasus tanah bekas hak erfpacht Nagari Kapalo Hilalang di Sumatera Barat dan Sebagainya.

Kasus - kasus tersebut lahir sebagai imbas dari "perampasan hak ulayat masyarakat adat" melalui Hak Guna Usaha (HGU), Izin Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHHK / HPH, HTI) dan izin-izin tambang besar, menengah, serta kecil yang diberikan pemerintah kepada kelompok - kelompok bisnis.

Kelompok-kelompok ini beroperasi dan mengakses tanah atas dasar legalitas hukum Negara pada wilayah-wilayah yang diklaim sebagai Hutan Negara dan Tanah Negara. Perampasan hak ulayat tersebut telah dimulai sejak Penetapan kawasan Hutan Negara Seluas 120 juta Hektar atau Hampir 75 persen dari wilayah daratan Indonesia di tahun 1980-an.

Penetapan kawasan hutan tersebut menyebabkan hilangnya hak ulayat masyarakat adat atas wilayah dan hutannya. Sejak penetapan kawasan ini, akses masyarakat adat atas tanah dan hutan dibatasi. Selain itu, aktualisasi hak adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan tanah dan hutan perlahan-lahan disingkirkan dengan ancaman sanksi-sanksi represif hukum negara. Akibatnya, konflik hak antara masyarakat adat dengan Pemerintah yang beriringan dengan kelompok bisnis pemilik konsesi selalu membara.

Interaksi Antar Hukum

Fakta peminggiran hak ulayat masyarakat adat atas sumber daya agraria adalah konsekuensi politik hukum (politicio legal concept) yang menganut sentralisme hukum negara. Sentralisme hukum menuntut kepatuhan mutlak penduduk pada hukum formil sebagai satu-satunya hukum yang diakui, sedangkan hukum lain yang hidup di masyarakat (the living law) terutama hukum adat bukanlah dianggap hukum.

Faktanya, hukum adat masih berlaku dan dipatuhi oleh banyak penduduk di Indonesia yang notabene adalah kelompok-kelompok masyarakat adat. Hukum adat bekerja melalui penerapan sanksi adat dan mekanisme penyelesaian sengketa adat, biasanya hampir semua sanksi adat bertumpu pada kekuatan moral dalam kehidupan sosial, contohnya sanksi "dibuang sepanjang adat" dalam masyarakat minangkabau.

Sanksi adat tidak semata-mata mengandalkan pembalasan fisik seperti halnya hukum negara. Sanksi adat berhubungan dengan sanksi moral, misalnya berupa pengucilan sosial sehari-hari terhadap anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran adat karena telah dianggap merusak keseimbangan sosial.

Bekerjanya hukum adat dalam masyarakat adat bukan hanya menciptakan tertib sosial namun juga berhubungan dengan harmonisasi alam-manusia. Penetapan wilayah tertentu sebagai wilayah hutan larangan, hutan keramat, lubuk keramat pada beberapa daerah di sumatera dan Kalimantan adalah bentuk ekspresi harmonisasi tersebut.

Alam bagi masyarakat adat diyakini mempunyai kekuatan metafisik yang mempersyaratkan keseimbangan alam dengan manusia sehingga apabila terjadi kerusakan mesti dipulihkan seperti sedia kala.

Hukum adat bekerja secara informal, untuk membedakannya dengan hukum Negara yang formal. Formalitas hukum tersebut menjadi basis klaim hukum Negara untuk menyingkirkan pola-pola informal hukum lain terutama hukum adat. Dalam konteks ini, maka politik sentralisme hukum selaras dengan formalitas hukum sebagai satu-satunya otoritas pencipta hukum, sedangkan hukum lain (hukum adat) dianggap hukum apabila diakui oleh hukum negara (Weak - Legal Pluralism), dan sistem hukum Indonesia masih menganut paham hukum ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun