Mohon tunggu...
Nurhilmiyah
Nurhilmiyah Mohon Tunggu... Penulis - Bloger di Medan

Mom blogger

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perjuangan Setahun Lalu

18 Mei 2018   22:56 Diperbarui: 19 Mei 2018   00:21 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: dok. pribadi

Ramadhan tahun lalu menjadi peristiwa bersejarah lahirnya si anak keempat ini. Tepatnya hari ketiga puasa. Waktu itu saya masih sempat bangun sahur, mencoba ikut berpuasa meski sudah ada "sinyal-sinyal cinta" dari si janin.

Sampai pukul sepuluh siang, tidak ada pergerakan yang berarti dari dalam rahim. Wah, saya sampaikan ke suami, kenapa ya bukannya semakin kuat kontraksinya malah hilang. Suami menyarankan saya untuk membatalkan puasa. Benar saja, saat segelas teh manis hangat saya teguk perlahan-lahan. Si janin bergerak pelan seolah mendapat transferan kekuatan juga.

Sesuai opsi yang diberikan DSOG kami, ketika bayi ditunggu sampai hari H mulesnya tidak ada peningkatan, maka kami diminta datang ke RS tempat beliau praktik. Sebenarnya saya ingin lahiran normal alami. Hanya saja demi mengapresiasi dan menyerahkan urusan kepada ahlinya, kami menaati saran DSOG untuk menjalani prosedur induksi. 

Apalagi kehamilan yang ini "post date" satu hari. Terbayang analisis DSOG  bahwa plasenta telah menua dan air ketuban juga sudah keruh. Kami bahkan menyetujui opsi lainnya yaitu jika memang harus diambil tindakan SC. Normal ataupun SC hanyalah metode melahirkan. Yang penting ibu dan bayi selamat dan sehat.

Spontan saya memikirkan nyeri hebat dan mules yang luar biasa akan saya alami. Tapi kepasrahan sudah pada titik maksimal. Tiada daya upaya selain mengharapkan pertolongan Allah SWT. Saya kuatkan diri, insyaAllah saya bisa melewati keadaan ini. Apalagi ini bukanlah pertama kalinya bagi kami. Ya, saya ditemani suami. Pendamping persalinan itu masih setia menunggui saya dari bayi pertama hingga yang keempat ini. Kehadirannya di sisi sudah begitu menguatkan saya.

Sampai bukaan enam, gerak janin hampir tak ada lagi. Belakangan saya baca di artikel online, kemungkinan si calon bayi tertidur di dalam. Hmm, sempat-sempatnya bobo' ya, Dek, ini detik-detik perjuangan kita, lho. 

Dosis induksi pun digandakan, menurut penilaian DSOG saya mampu menahannya. Jaringan di leher rahim juga sudah melunak, insyaAllah aman, katanya. Tinggallah saya membaca semua doa yang dipunya, merasakan sesenti demi sesenti jalan lahir terbuka. Detik datangnya kontraksi memang sangat membutuhkan kekuatan mental. Bersahabat dengan rasa sakit. Berdamai dengan rasa nyeri. Sakit yang menjadi solusi. Nyeri yang diharapkan kehadirannya. Tanpa nyeri tak mungkin bukaannya sempurna. Bulir-bulir keringat bercucuran di ruangan ber-AC yang cukup dingin kata suami saya.

Bantal putih kamar bersalin itu menjadi saksi perjuangan. Saya meremas-remasnya hingga menyatu sangat erat dengan kepalan terkuat tangan saya. Allah... beginilah yang dirasa almarhumah ibunda saya dahulu melahirkan lima orang kami anak-anaknya. Gemeretuk gigi berusaha menahan nyeri hebat yang saya rasakan. Terus, Nak. Ayo terus, Umi tahan koq, cari jalanmu, Sayang. Umi tidak sabar ingin bertemu, seru saya dalam hati untuk anggota tim yang di dalam perut ini. Saya yakin ia pun tengah berusaha sekuat tenaga menemukan jalan keluarnya melihat dunia.

Alhamdulillah saat-saat berbuka puasa, lahirlah si putra keempat. Ada dua lilitan tali pusar di lehernya. Subhanallah, Dek... pantaslah gerakmu menuju jalan lahir agak lama. Ada sedikit penghalang rupanya. Kuat ya, Dek. Sampai lilitan tali yang mencekik leher tak kau pedulikan. InsyaAllah kita (umi, ayah, dedek bayi) dan ibu bidan, adalah tim yang hebat ya. 

Kau akhirnya "brojol" sendiri, meluncur keluar rahim. Justru saat DSOG pergi sebentar ke kliniknya yang tak jauh dari RS. Klinik tempat saya selama ini rutin memeriksakan diri, cukup dekat dari rumah. Begitu ia sampai dan mendapati bayi sudah "launching", DSOG segera mengecek siapa tahu ada robekan di jalan lahir yang mengharuskan dijahit. Alhamdulillah tidak ada. 

MasyaAllah agak mengherankan ya, malah tidak perlu dijahit. Baru kali ini BB lahir bayi kami di atas tiga kilo. Biasanya paling berat 3,0, Ririn anak ketiga malah 2,8 kg. Saat hamil, yang tambah gede badan ibunya, wkwk. Ketiga kelahiran sebelumnya perlu tindakan episiotomi dan saya "diobras" beberapa jahitan. Surprise sekali rasanya. Apa mungkin kelahiran kali ini fisik dan psikis saya sudah lebih matang, mengingat usia sudah 35 tahun. Ketiga anak yang lain masing-masing dilahirkan saat saya berusia 24, 26 dan 29.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun