Mohon tunggu...
Nurhilmiyah
Nurhilmiyah Mohon Tunggu... Penulis - Bloger di Medan

Mom blogger

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Romantis Itu...

6 Februari 2018   20:43 Diperbarui: 6 Februari 2018   21:57 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Imgrum

Telah banyak orang mengurai kisah romantis. Sampai akhirnya romantis terkesan miliknya para princess di film Disney. Hikayat dengan ending kisah "happily ever after" putri dengan pangeran "charming" berkuda putih. Sebenarnya apa sih romantis itu? Rokok, makan, gratis? Wkwk, plesetan pasarannya. Tentu saja bukan itu yang dimaksud. Menurut KBBI romantis itu bersifat seperti dalam roman (percintaan), bersifat mesra, mengasyikkan. 

Kisah Cinderella, Rapunzel, Little Mermaid dan para princess lainnya, menempati posisi deretan kisah-kisah romantis. Termasuk Usagi Tsukino dengan Mamoru si Tuxedo Bertopeng dalam Sailormoon meski tetap tampil dengan kekocakannya tersendiri. 

Romantisme dalam kisah-kisah di atas, fiksi. Jauh berbelas abad sebelumnya kisah romantis yang nyata ala nabi telah terukir dalam sirah nabawiyah. Di antaranya, saat Rasulullah SAW memanggil ummul mukminin Aisyah r.a. dengan sebutan mesra, minum secangkir berdua atau berlomba lari bersama. Rasulullah SAW telah memberikan pedoman bahwa laki-laki yang terbaik adalah laki-laki yang paling baik perlakuannya terhadap istri. 

Romantisme berarti segala hal yang terkait dengan kemesraan, perlakuan yang menunjukkan rasa cinta. Terlepas dari definisi mengenai romantis beserta beragam contoh lazimnya di novel-novel bergenre sejenis, saya hanya ingin mengabadikan romantisme dalam bentuknya yang lain, tentu saja dibingkai oleh ikatan suci pernikahan.

 Tigabelas tahun bersama, mengalami up and down berumah tangga, sama-sama belajar menjadi pasangan yang baik. Saya berproses jadi istri yang salehah dan suami juga berusaha menjadi suami yang saleh. 

Romantisme yang beredar dalam kisah-kisah fiksi maupun nonfiksi bagi saya sudah terlalu mainstream. Sejak saya menyadari bahwa saya tidak bisa memaksakan suami wajib berubah menjadi romantis bagai kisah cinta dalam novel-novel yang saya baca.

Pernah suatu ketika saat baru sebulan menikah kami jalan kaki berdua, saya menggandeng tangannya. Mungkin karena tidak biasa digandeng lawan jenis, laki-laki yang sudah sah menjadi suami saya itu pun menepis perlahan tangan saya. Kenapa? Tentunya saya bertanya. Malu dilihat orang yang lalu lalang, katanya. Saya ngambek waktu itu, tepatnya mogok bicara, dan seingat saya, esok harinya baru mau berkomunikasi lagi, itu juga hanya untuk menyampaikan hal yang penting-penting saja. Bahkan dibujuk rayu saja tidak. Hmm, tidak romantis!

Saat berboncengan naik sepeda motor dengan suami, saya enggan berpegangan pada pinggangnya. Persis sedang naik ojek. Sebenarnya tiga hari setelah menikah posisi duduk saya masih benar-benar menghadap ke samping seperti itu. Sebab masih merasa risih dan tak biasa berboncengan dengan orang yang "asing". Sampai akhirnya ban sepeda motor bertemu dengan gundukan polisi tidur, mau tak mau saya terpaksa berpegangan pada pinggangnya, takut terjatuh. Dan dia pun tertawa. Tepatnya mengejek, wah... benar-benar tidak romantis, pikir saya.

Tahun-tahun berikutnya sampai dengan hari ini, ia masih tetap dengan sikap yang sama. Keukeuh dengan ketidakromantisannya itu. Dulu, saat saya terisak-isak menonton film India tentang cinta segitiga Koch Koch Hota Hae, ia malah menertawakan saya, menganggap saya aneh, bisa berderai air mata hanya karena tontonan. Lalu waktu saya "paksa" ia nonbar di bioskop film Ayat-Ayat Cinta 1 tahun 2007 silam, ia malah asyik tertidur sambil memangku anak kedua kami yang pulas juga. Sama saat beberapa waktu lalu saya berkesempatan menamatkan drama Korea, Goblin, ada episode yang menurut saya dialognya membuat sedih, dia malah mengibaskan tangan, menganggap yang saya tangisi itu absurd.

Malah katanya, lelaki yang romantis itu cenderung playboy. Soalnya pandai mengolah perasaan wanita. Pria itu kan pada dasarnya rasional, masa' mau-maunya mengurusi hal-hal yang remeh temeh demi agar dicap romantis. Lebih baik bersikap apa adanya, menjadi diri sendiri, menunjukkan dengan perbuatan, bukan dengan gombalan. Demikian prinsipnya. Kalau sudah begitu saya cuma membalasnya dalam hati, banyak alasan, dasar makhluk Mars! 

Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga sih, untuk apa menghujani istri setiap harinya dengan kata-kata "I love you" jika kenyataannya suami mendua di luar sana. Bersikap romantis hanya untuk menutupi kesalahan, misalnya. Lebih baik yang wajar-wajar saja, tak perlu over acting, tidak butuh yang berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun