Weekend 23 Mei 2015, tuan dan nyonya rumah yang notabene adalah anak atau menantu saya, merencanakan pergi ke London. Malam sebelumnya mereka mulai berkemas. Tentu saja yang harus didahulukan adalah berkaitan dengan urusan perut.Â
Kalau sekitar Birmingham, persiapannya paling-paling snack berupa roti atau apa saja yang bisa mengusir lapar. Tapi berhubung perjalanan agak jauh, kira-kira dua setengah jam naik kereta dari Stasiun New Street Birmingham, bekal nasi adalah menu yang terdaftar pada urut pertama. Namanya saja orang Indonesia. Belum makan namanya sebelum menyantap nasi. Mana membawa anak-anak pula.
Seperti biasanya, apabila nik kereta atau mobil, Arie sang mantu selalu menempatkan saya duduk di pinggir. Tujuannya agar si nenek dapat menikmati pemandangan berbeda daripada di tanah air.
Belum lama meninggalkan New Street Birmingham, di sepanjang pinggir jalur kereta terlihat tanah berpetak-petak kecil. Luasnya kurang lebih 5 x 2 meter, ditumbuhi sayuran, tomat dan entah apa lagi. Maklum, pemandangan sekilas, di tengah kereta yang melaju kencang. Setiap oktafnya terdapat sebuah pondok mungil dari kayu atau tenda parasut kecil.Â
Saya tanyakan pada Arie, apakah di sana area pemakaman. Darinya saya tahu, bahwa di negeri Elizabeth tersebut yang memiliki tanah luas hanya orang-orang kaya. Lahan yang berpetak-petak kecil itu disewa oleh masyarakat sekadar melampiaskan hobi bercocok tanam.
Contohnya, 250 gram kacang panjang seratusan ribu rupiah nilai uang Indonesia. Di desa saya cuma Rp 2.000 Rupiah. Produk lokalnya juga ada, seperti, kentang, bayam, kol, sawi dan sebagainya. Harganya selaras dengan sayuran impor.
Di lain tempat, sebelah kiri kanan rel kereta menghampar area perkebunan canola yang luas. Menurut Arie, tanaman ini digunakan untuk bahan baku membuat margarine dan minyak goreng bernilai gizi terbaik untuk dikonsumsi.Â
Jauh lebih sehat dibandingkan minyak kelapa sawit. Belum lagi tudingan Eropa bahwa tanaman sawit adalah penyebab utama deforestation di negara tropis. Selain itu, akibat naiknya harga minyak bumi, minyak canola semakin penting untuk bahan baku biodiesel. Namun, kelapa sawit diyakini lebih bagus dan ramah lingkungan untuk dijadikan biodiesel.
Tiada seekor pun yang menerobos ke area perkebunan mencuri tumbuhan yang bukan haknya. Padahal, sebagian lahan peternakan dan perkebunan berbatasan langsung. Meski ada juga yang disekat pagar seadanya. Masih bisa dilompati. Apalagi sapi-sapi di sana sebesar gajah. Tiada pula hewan tersebut berkeliaran di jalan raya dan di rel kereta. Saya melabeli binatang ternak di sana taat asas.