Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Iya, Wanita Karier Lebih Galak Ketimbang Suami?

21 April 2018   21:51 Diperbarui: 21 April 2018   22:38 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: http://www.hidayatullah.com

Dampak jebolnya tembok pengekangan yang membentengi perempuan untuk mengembangkan diri, semakin banyak para wanita memilih berperan ganda. Berkarier di luar rumah sekaligus  ibu rumah tangga, baik di pedesaan maupun perkotaan. Sehingga jabatan dan pekerjaan penting dalam masyarakat tidak lagi dimonopoli oleh kaum adam saja. Hal ini menjadi kepuasan tersendiri bagi wanita yang bersangkutan.

Selain berdampak positif terhadap ekonomi rumah tangga, wanita karier juga menjadi kebanggaan keluarga, orangtua, anak-anak dan suami. Suami mana yang tidak senang, melihat pasangannya berangkat kerja dengan penampilan menarik, pakaian rapi, wajah cerah dan berseri-seri. Plus tas cantik dan sepatu berhak tinggi.

Namun, masih ada saja suara-suara sumbang yang menuding, bahwa isteri bekerja dan berpenghasilan cenderung galak, dan lebih dominan ketimbang suami. Pandangan begini sah-sah saja. Karena yang tampak dalam kehidupan orang lain hanya kulit luarnya saja. Bagaimana kondisi di dalamnya, hanya pemilik rumah tangga itulah yang tahu. 

Anggapan negatif tersebut dapat dimaklumi, karena umumnya wanita karier itu rasa percaya dirinya lebih tinggi, mandiri dan tegas dalam bertindak. Dibandingkan ibu rumah tangga biasa yang bergelut dengan urusan dapur, sumur, dan kasur. Suatu ketika dia bisa berperan sebagai suami atau kepala keluarga. Terlebih menyangkut pengelolaan uang. Andaikan suaminya sedang bepergian, sementara di rumah sudah kehabisan duit dan stok untuk kebutuhan dapur, si isteri bisa menanggulanginya dengan segala daya. Tanpa minta bantuan dari mertua atau orang lain.

Begitu juga ketika menghadapi situasi genting, dia berani mengambil keputusan. Semisal mengeluarkan dana untuk keperluan orangtua, mertua, saudara-saudara, atau iparnya, tanpa berunding dengan suami terlebih dahulu. Walaupun dirinya menyadari bahwa apa yang dilakukannya tersebut telah mengesampingkan azas musyawarah.

Namun, kaum kartini berpenghasilan tersebut menolak label galak dan dominan yang ditempelkan kepada dirinya. Banyak kok, isteri di luar sana yang kerjanya hanya mengurus rumah tangga, tetapi suka ngatur dan melawan pada suami. Bahkan ada wanita punya suami kaya raya, pembantunya sekodi,  baby sisternya selusin. Di rumah kerjanya bersolek dan goyang kaki saja menunggu suaminya pulang kerja. Ke mana-mana pakai mobil mewah. Tetapi galaknya pada suami minta ampun. Kejam bin pelit medit kepada mertua dan saudara ipar. Di sisi lain suaminya penyabar, dan selalu menuruti kemauan isteri. Meskipun dia orang penting di kantor dan ganteng pula.

Sebaliknya, tidak sedikit pula wanita karier menjadi korban kekerasan suami. Semasa pacaran dan masih pengantin baru, sang suami begitu lembut dan romantis. Setelah beberapa bulan menikah, berubah seratus delapan puluh derajat. Apa-apa sedikit marah. Terlambat beberapa menit isterinya pulang kerja ribut, telat menyiapkan sarapan marah, anak-anak yang membandel isteri juga kena getahnya. Pendek kata, menurut dia  ada saja perbuatan isterinya yang salah. Berkutik sedikit saja persoalan bisa bertambah runyam. Seakan tiada  lagi tersisa kebenaran yang dapat diterima oleh akal sehat.

Sedangkan isterinya menerima dengan sabar, memasrahkan dirinya  untuk disakiti. Padahal, dari awal keduanya telah sepakat, apabila kelak mereka menikah, si isteri tetap diizinkan bekerja di luar rumah. Dan celakanya lagi, hitung-hitung jika hanya mengandalkan penghasilan suami, anak-anak mereka terancam hanya bisa makan bubur.

Tanpa bermaksud mengorek aib masa lalu rumah tangga, saya sedikit berbagi pengalaman. Saya menikah pada usia 21 tahun, suami menginjak tahun ke 24. Kebetulan saya duluan bekerja. Sedangkan beliau, sambil menyelesaikan kuliah, berjualan kecil-kecilan dengan hasil jauh dari setengah cukup. Saya ikhlas, dan tak pernah menuntut apa pun  kepadanya.  Anehnya, yang galak malah suami. Sensitifitasnya setipis dinding balon mainan. Tersentuh sedikit langsung sobek dan meledak. Endingnya, merajuk.

Saya banyak mengalah. Dan, berusaha maksimum agar jangan sekali-kali pertengkaran bermotif uang atau materi. Tujuannya, untuk membentengi diri dari predikat isteri galak gara-gara suami menganggur.

Saat baru menikah, rumah tangga kami aman-aman saja. Padahal kehidupan kami sangat susah. Suami pergi pagi pulang sore bekerja di sawah dan di ladang. Anehnya, setahun saya mulai mengajar, dia menjelma menjadi pribadi yang tempramen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun