Dalam biografinya yang dirilis pada 2005, Bang Ben ternyata anak seorang pensiunan tentara asal Purwokerto bernama Sukirman yang menikahi seorang perempuan Betawi Kemayoran puteri jawara Kemayoran, Haji Jiung.
Dalam sebuah kesempatan makan siang bersama dengan sang kawan yang chauvinistik itu, setelah gelar fakta lewat percakapan mendalam, saya patut berbangga.
Setidaknya darah Betawi saya lebih murni. Sang kawan memang beribukan orang Betawi tulen, tapi ayahnya orang Wetan. Itu istilah orang Betawi untuk orang-orang yang berdomisili di daerah sekitar Karawang, Subang atau Bekasi, yang dianggap tidak murni Betawi. Dan ketika mengakui fakta itu, ia pun tertunduk. Malu rupanya.
Saya berusaha menyembunyikan senyum kemenangan saat itu. Sama rapinya saat saya menyembunyikan fakta darinya bahwa nenek saya dari pihak ayah adalah puteri seorang wan Arab dan perempuan Betawi.
Jadi, meminjam istilah Hitler ketika berusaha mengampanyekan program supremasi ras Arya Jerman pada era 40-an, darah saya juga masih "ternodai" ras lain!
Pada akhirnya, persoalan ras atau suku adalah persoalan yang tidak perlu dipersoalkan, karena merupakan sesuatu yang given, terberi, dari Tuhan. Saya tidak pernah meminta orang tua saya berasal dari ras atau suku apa. Demikian juga kita semua.
Alhasil, stereotip sejatinya adalah sesuatu yang menafikan kodrat Tuhan bahwa kita semua dilahirkan berbeda-beda, bersukubangsa, untuk saling mengenal di antara kita, tanpa perlu mencela atau menghina dalam bentuk apa pun dan lewat media apa pun.
Jakarta, 8 Oktober 2020
Referensi:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!