Di sisi lain, Juru Bicara Kemenlu RI Teuku Faizalsyah menolak tudingan Vanuatu bahwa pemerintah Indonesia mengoordinasikan serbuan ke akun media sosial milik pemerintah Vanuatu tersebut. Teuku Faizalsyah juga mengimbau warganet Indonesia untuk menghindari ujaran yang berkonotasi rasis atau rasialis.
"Karena Indonesia adalah bangsa yang pluralistik dengan kesetaraan ras serta suku bangsa," ujar Jubir Kemenlu tersebut kepada CNN Indonesia.
Komentar-komentar julid nan sadis dari warganet Indonesia yang ditujukan kepada Vanuatu memang dahsyat. Mulai dari menuding bangsa Vanuatu bangsa kanibal atau pemakan daging manusia, bangsa kera hitam hingga negara primitif.
Ironisnya, kesemua tuduhan warganet tersebut, yang dapat dikategorikan menghina online atau daring, justru mengonfirmasikan keyakinan pemerintah Vanuatu bahwa bangsa Indonesia memang bangsa rasialis yang menindas saudara Papua mereka, sesama ras Melanesia.
Dan, yang juga ironis, kita termakan oleh perkataan kita sendiri.
Sebagaimana pepatah klasik yang disitir oleh salah seorang diplomat muda Indonesia ketika menangkis tudingan Vanuatu bahwa "ketika seseorang mengacungkan jari telunjuknya kepada orang lain, maka ibu jarinya otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri", ibu jari kita justru tengah menuding wajah kita sendiri.
Demikianlah akibat stereotip yang membatu, yang menguratakar, mendarahdaging, tanpa kita sadari, dalam genetik budaya kita sebagai bangsa.
Perangkap stereotip
Di Indonesia, negeri yang terdiri dari belasan ribu pulau dan ratusan bahasa serta etnis ini, sederet panjang stereotip tentang suku dan etnis dapat dijejer. Barangkali sama panjangnya dengan luas garis pantai negeri yang dulunya bernama Nusantara ini.
"Jangan kawin sama orang Padang. Pelit!"
"Wah, Betawi ya? Kontrakannya banyak dong! Makanya orangnya pemalas!"