Mohon tunggu...
Nur Sabrina
Nur Sabrina Mohon Tunggu... Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Jember 2023

Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Retaknya Tatanan Global: Perang Rusia-Ukraina dan Krisis pada Sistem Globalisasi Ekonomi

2 Mei 2025   00:08 Diperbarui: 2 Mei 2025   00:06 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Globalisasi ekonomi adalah proses integrasi antar negara melalui perdagangan internasional, investasi asing langsung, arus modal, transfer teknologi, dan koneksi rantai pasokan global. Selama beberapa dekade, globalisasi telah dilihat sebagai gerakan untuk pertumbuhan ekonomi. Hal ini memungkinkan negara-negara berkembang untuk meningkatkan produktivitas dan akses pasar, sekaligus memperkuat hubungan ekonomi antara negara-negara maju. Perdagangan internasional telah menjadi tulang punggung sistem ini. Negara ini didasarkan pada ekspor dan impor untuk memenuhi kebutuhan domestik dan mempertahankan sektor manufaktur. Namun, invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 membuat sistem globalisasi menjadi sensitif terhadap konflik geopolitik. Konflik ini tidak hanya perang fisik, tetapi krisis ekonomi dan politik yang bersifat transnasional, yang menunjukkan bagaimana ketegangan bilateral menyebabkan volatilitas harga bahan baku, hambatan rantai pasokan, dan polarisasi blok pedagang.

Pertama-tama, perang ini disebabkan oleh klaim geopolitik atas keamanan nasional Rusia dan penolakan NATO, yang menolak untuk meningkatkan pengaruh militer di wilayah Eropa Timur. Rusia dan Ukraina berawal dari dinamika regional karena keduanya merupakan dua kekuatan penting dalam rantai suplai global, terutama sektor energi dan pangan, namun dampak ekonominya menyebar dengan cepat. Kedua negara ini menyumbang sekitar 25% dari ekspor gandum dunia dan lebih dari 75% minyak bunga matahari, menjadikan perang sebagai salah satu penyebab utama krisis harga pangan global. Di sisi energi, Uni Eropa (UE) sangat bergantung pada Rusia untuk pasokan gas alam, dengan sekitar 40% impor gas UE berasal dari sumber-sumber Rusia sebelum konflik dimulai. Sanksi Barat terhadap Rusia yaitu seperti dibekukannya aset Bank Sentral senilai $300 miliar dan dilakukan pemutusan akses ke sistem pembayaran SWIFT. Hal tersebut memperburuk kurangnya stabilitas pasokan energi dan memicu volatilitas harga energi yang mencapai rekor tertinggi pada Agustus 2022.

Dampak perang terhadap globalisasi menjadi jelas. Gangguan global pada rantai pasokan telah menjadi masalah besar, terutama di bidang pangan dan energi. Negara-negara Afrika dan Timur Tengah, seperti Mesir dan Yaman, yang sebagian besar bergantung pada impor gandum dari Ukraina dan Rusia, menghadapi ancaman kelaparan akibat meledaknya harga pangan dunia. Pada Agustus 2022, harga gas alam di Eropa mencapai 345/mWh dan memaksa industri berat seperti baja dan bahan kimia untuk mengurangi kapasitas produksi. Kenaikan biaya energi ini masih mempengaruhi inflasi global. Menurut Bank Dunia, tingkat inflasi dunia akan mencapai 8,7% pada tahun 2022, tertinggi sejak tahun 1990-an. Negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Turki terpengaruh oleh tekanan suku bunga yang tinggi dari Amerika Serikat untuk memperlambat inflasi, yang menyebabkan arus modal keluar dan melemahnya nilai tukar lokal.

Selain itu, perang ini menyebabkan polarisasi blok ekonomi. Rusia telah memperkuat hubungan ekonominya dengan Cina dan India melalui sistem perdagangan non-dolar seperti Yuan dan Rupee, dan Uni Eropa telah mulai mempercepat perubahan energi terbarukan dengan menangani ketergantungan pada gas Rusia melalui program REpowerEU. Fenomena ini diperkuat dengan berkembangnya istilah "slowbalisation" yaitu tren di perusahaan-perusahaan global untuk lebih mengedepankan ketahanan dalam rantai pasokan (friend-shoring) dibandingkan dengan efisiensi biaya. Banyak perusahaan Amerika dan Eropa mulai memindahkan basis produksi dari China ke India atau Vietnam sebagai bentuk dari antisipasi peningkatan risiko geopolitik.

Dampak perang terhadap politik dan ekonomi internasional memang sangat penting, terutama terkait konversi perdagangan internasional menjadi instrumen geopolitik yang digunakan untuk menekan musuh dan sekutu. Dalam konteks perang Ukraina dengan Rusia, embargo energi Eropa terhadap Rusia adalah contoh yang jelas bagaimana hubungan perdagangan dapat dikurangi sebagai bentuk sanksi politik dan ekonomi. Selain itu, larangan ekspor teknologi tinggi ke Moskow membuktikan bahwa perdagangan tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sebagai senjata persaingan ideologi dan pengaruh global. Dalam situasi ini, badan-badan multilateral seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) gagal dalam menyelesaikan sengketa dagang yang muncul akibat konflik geopolitik. Forum-forum kerja sama internasional seperti G20 juga mengalami fragmentasi. Hal ini membuat para pendukung Ukraina berhadapan dengan negara-negara netral seperti Indonesia dan India. Fenomena ini mengindikasikan bahwa institusi ekonomi global belum sepenuhnya siap menanggung polarisasi politik yang semakin dalam dan kompleks.

Dengan melihat kenyataan ini, penting bagi semua pihak baik konsumen, produsen, maupun pemerintah untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk membangun ketahanan ekonomi nasional dan global. Bagi konsumen, salah satu cara utamanya adalah mengantisipasi kenaikan harga pangan dan energi akibat perang. Salah satu strateginya adalah mengurangi konsumsi protein hewani, yang cenderung mengalami kenaikan harga karena ketergantungan pada pakan ternak impor, dan beralih ke sumber protein lokal alternatif seperti tahu, tempe, dan ikan. Selain itu, konsumen didorong untuk lebih memilih produk lokal yang berkelanjutan sehingga tidak terlalu bergantung pada impor yang saat ini terpapar gejolak pasar global. Dari sisi investasi, masyarakat juga perlu bijak dalam mengelola tabungannya. Alokasi dana untuk melindungi aset seperti emas dan obligasi pemerintah merupakan solusi yang efektif untuk melindungi nilai uang dari tekanan inflasi dan pelemahan nilai tukar mata uang domestik. Langkah-langkah ini, Meskipun langkah-langkah ini jelas diadopsi secara individual dan kolektif, akan tetapi sangat membantu untuk menjaga stabilitas ekonomi makro dan meningkatkan daya tahan bangsa dalam menghadapi gejolak global yang semakin tidak menentu.

Sementara itu, produsen perlu melakukan diversifikasi sumber bahan baku. Sebagai contoh, perusahaan makanan Indonesia dapat mengganti gandum yang diimpor dengan singkong atau Sagu lokal untuk produk olahan. Indofood sendiri telah mengembangkan inovasi mie dengan bahan dasar ubi untuk pasar domestik sebagai respon terhadap kenaikan harga gandum global. Selain itu, produsen perlu berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan seperti energi surya dan angin untuk mengurangi biaya listrik jangka panjang. Perluasan pasar ke wilayah non-tradisional melalui kontrak RCEP juga merupakan strategi penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasar konvensional seperti Eropa dan Amerika Serikat.

Bagi pemerintah, prioritas utama adalah memperkuat cadangan pangan dan energi. Di Indonesia, hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan biodiesel berbasis kelapa sawit dan perluasan lumbung pangan nasional. Diplomasi ekonomi yang proaktif juga diperlukan untuk membangun kemitraan dengan negara-negara netral seperti Turki dan Brasil dalam rangka mediasi perdagangan dengan Rusia dan Ukraina. Peraturan perlindungan seperti bea masuk selektif dan insentif pajak untuk industri hijau atau ramah lingkungan dapat membantu membangun fondasi ekonomi yang lebih tangguh dalam menghadapi gejolak global.

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina menunjukkan bahwa globalisasi tidak seutuhnya kebal terhadap gejolak geopolitik. Konsumen harus bijak dalam mengelola pola konsumsi dan alokasi keuangan, produsen harus inovatif dengan meningkatkan biaya produksi, dan pemerintah harus membangun mekanisme perlindungan sistematis yang kuat. Konflik ini juga menjadi alarm global bahwa kerja sama multilateral tetap penting meskipun berada dalam kondisi perpecahan. Kunci keberlanjutan ekonomi global di masa depan adalah keseimbangan antara keterbukaan pasar dan kesiapan dalam menghadapi risiko geopolitik yang berkembang secara terus-menerus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun