Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al Baqoroh 261)
Dan masih banyak lagi hadist hadist dengan metode yang hampir sama dalam hal kebaikan yang terangkum dalam hadits Fadhail a’mal dalam kitab Dzurratunnasihin karangan Syekh Usman bin Hasan al-Khaubawiy yang malah hampir dari awal bab sampai akhir meng-epistemologi penyampaian nya dengan metodologi seperti seperti yang disampaikan oleh Cak Yusuf. Berbeda dengan kitab Al-Khikam karangan Ibnu Athoilah Alsakandary, yang menekankan ubudiyaah dengan metodologi ‘tajriid’ dan ‘zuhud’ jika sedekah melewati pintu ini maka tak akan mengharapkan apa apa setelah bersedekah.
Dalam satu paragrap diatas saya menulis perlunya keajaiban untuk mempertahankan level keyakinan tertentu bahkan Nabi Ibrahim as pun membutuhkan hal tersebut namun dalam kontek mencari ketenangan batin dengan keajaiban (mukjizat bagi Nabi dan Rasul).
Episode dialog ini tertulis di Al Quran sebagai berikut:
Nabi Ibrahim pun berseru meminta kepada Allah, "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati," pinta beliau.
Allah pun berfirman, "Belum yakinkah kamu?"
Ibrahim pun menjawab, "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)," ujarnya. Allah pun kemudian memperintahkan apa yang dilakukan Ibrahim tersebut.
Allah berfirman: "Kalau demikian tujuanmu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera," firman Allah. Akhirnya Ibrahim melakukan apa yang diperintahkan dan benar adanya, burung yang telah dicincang itu mendatangi panggilan Ibrahim as dalam keadaan hidup seperti semula.
Hikmah ibrahimiyyah dalam kontek kejadian ini bisa menjadi kompromistis konflik pemikiran Cak Nun dan Cak Yusuf bahwa dengan meminta keajaiban, karamah, muk jizat dari Allah swt adalam dalam rangka menenangkan batin kita yang sangat kita perlukan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Kalau mengharapkan imbalan dari sedekah adalah bentuk dari keajaiban yang kita inginkan sebagaimana Ibrahim as meminta bukti maka bukannya kita tidak percaya , bukan tidak ikhlas dsb terhadap kedermawanan kita tapi seperti Ibrahim As justru menjadi pintu melihat ke Maha Besaran Allah, Ke Maha Kayaan Allah, Ke Maha Tepatan Janji Allah dan itu bisa menenangkan batin kita karna merasa Allah Swt bersama kita setiap waktu terutama setelah mendermakan harta kita bahwa sedekah tak akan menjadikan kita miskin tapi sebaliknya.
Tapi kalau kita mau fair, ayat tekstual baik dari Alquran dan Hadist, maka akan kita dapati metodologi Cak Yusuf mendapatkan paling kaya khazanah tekstual dan justru metodologi Cak Nun lebih kering. Hal ini karna metodologi Cak Nun memang dalam sejarah baru muncul beberapa abad setelah islam menyebar. Ketika Nabi Saw masih hidup, beliau dan para sahabat sudah dalam keadaan zuhud dan keshufian menyatu dalam jiwa mereka meski tanpa narasi yang besar dari text karna karakter mereka sudah menjadi teks tersendiri. Lha ketika Umat Islam menguasai beberapa bagian dunia berikut harta, tahta dan manusianya menjadikan problem kehidupan membutuhkan metodologi seperti Cak Nun tersebut untuk mengobati hati dari kecintaan kepada dunia yang berlebihan.
Walkhasil, sebaiknya dua dua nya gak usah berbenturan dan dibenturkan. Akur aja bro!!
Wallohu a’lam bisshowab
Nurkholis ghufron.