Mohon tunggu...
Nur Kholifah Palaloi
Nur Kholifah Palaloi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesusastraan Modern Indonesia Sebelum dan Selama Orde Baru

5 Mei 2022   22:56 Diperbarui: 12 Mei 2022   02:52 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Karya-karya sastra Orde Baru baru meliputi periode yang panjang dari 1920 hingga 1965 dan dibagi kembali ke era pra-perang kemerdekaan dan pasca-perang kemerdekaan. Jika perbincangan dimulai dengan deskripsi terperinci tentang sastra pra-perang kemerdekaan Indonesia, titik pertama yang harus dijelaskan adalah hubungan antara kehadiran karya-karya sastra yang menunjuk masalah tradisi dan semangat modernitas yang berkembang di dalam masyarakat. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui sekilas kesastraan modern Indonesia sebelum dan selama orde baru. Melalui artikel ini, pembaca diharapkan dapat memahami periodisasi karya sastra sebagai suatu pembelajaran dalam memecahkan sebuah masalah.

Dalam konteks politik, semangat hidup sebelum dan selama tatanan baru adalah semangat negara, sebagai bagian dari kesadaran baru generasi muda. Bersama-sama dengan politik, semangat yang ada dalam sastra juga menentang semangat tradisi. Semuanya unik dan tampaknya sama dengan tradisi, yang menghubungkan pemikiran manusia dengan pandangan yang tidak jelas, statik dan tidak masuk akal.

Dalam konteks ini, kita harus mempertimbangkan kontroversi dan diskusi tentang tokoh pada tahun 1930-an tentang kubel atau arah orientasi budaya masyarakat. Roh, yang pada saat itu berfokus pada pertikaian budaya, yang merupakan semangat penembusan Barat dan keluar dari Timur, menolak yang lama dan mengikuti yang baru. Meskipun masih ada pihak-pihak dalam perdebatan yang menolak untuk pergi ke Barat, fakta bahwa gairah untuk meninggalkan yang lama kelihatan kuat. Ini tercermin pada karya-karya yang lahir pada masa itu, yang secara keseluruhan cenderung mengagumi pandangan modern dan beralih dari pandangan lama. Mengenai puisi, bentuk lama yang telah ditubuhkan masih digunakan, misalnya, pantun. Para penulis yang bergabung dengan kelompok Pujangga baru melalui majalah Pujangga baru menulis sonnet. Puisi, yang muncul di Italia dan diserap oleh penulis baru Pujangga melalui literatur Belanda, dianggap "baru" dan sesuai dengan kandungan jiwa atau roh mereka, yang mencari kebebasan dalam menggambar sesuatu, sementara Sonet sebenarnya adalah puisi yang menghubungkan (14 Larik) atau bentuk tetap, seperti pantun, yang mengikat di bawah kondisi tertentu, yang paling penting adalah kewujudan kedalaman dan kandungan.

Dalam novel ini muncul perspektif baru yang mengkritik bagaimana pandangan masyarakat lama telah mengekalkan tradisi yang berharga. Dalam konteks novel Siti Nurbaya, sering disebut sebagai novel pertama yang menonjolkan kebiasaan keras masa. Selain itu, ada contoh lain yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai tradisional yang sudah lama tidak lagi berfungsi dalam masyarakat hari ini. Misalnya, karena karya Mentua di Nur Sutan Iskandar, mungkin untuk menjelaskan bagaimana Runyam dan kematiannya terjadi ketika seorang Mertua yang mengamati Colot mengikuti pengaturan hidup anak-anak dan neneknya. Karya-karya lain Nur Sutan Iskandar, seperti apa hari saya, menunjukkan bagaimana kebiasaan (perkawinan paksa) telah menyebabkan rasa sakit. Dua novel sebelumnya oleh Merari Siregar, Azab dan Sengsara, menggambarkan betapa kejam kebiasaan pernikahan anak. Novel ini menceritakan kisah bagaimana kebiasaan dan praktik yang terkait dengan perilaku yang salah telah menyebabkan orang banyak kesulitan. Contoh lain adalah layar yang diperpanjang dari Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh yang paling vokal dalam mempertahankan kepentingan masyarakat meninggalkan budaya daerah dan mengaburkan budaya Barat.

Dengan jelas dilukiskan dalam novel tersebut betapa cara pandang yang menggunakan perasaan sebagai ukuran untuk menilai sesuatu tidak sesuai dengan semangat zaman. Tokoh yang menggunakan perasaan dalam memandang dan menilai sesuatu adalah Maria, sedangkan tokoh yang menggunakan akal atau rasio dalam memandang dan menilai sesuatu adalah Tuti. Cara pandang Maria mewakili cara pandang lama yang bernaung di bawah budaya daerah/budaya lokal yang masih pra-Indonesia. Cara pandang Maria bagi Sutan Takdir Alisjahbana tidak cocok untuk bangsa Indonesia, sebaliknya cara pandang Tuti sesuai.

Itulah sebabnya karakter novel Mary ditutup. Jika Anda melihat lautan melalui perasaan Anda sendiri, layar yang akan mengelilingi itu tidak akan berkembang. Mencari jati diri Indonesia bisa menjadi cara yang baik untuk mengetahui tentang budaya dan orang.


Dari deskripsi singkat ini, dapat dilihat bahwa budaya lokal atau memuji pandangan independen dianggap tidak sesuai, sehingga pada saat itu sebagai rujukan, saat memuji semangat modern dan etnis, menjadi cita-cita atau impian masyarakat tertentu, mereka menyadari bahwa mereka berada dalam kesulitan pendudukan. Inilah ciri-ciri yang biasa dalam literatur modern orang Indonesia yang berkaitan dengan budaya tempatan sebelum Perang Kemerdekaan. Kemajuan terhalang oleh budaya tradisional di era itu, yang dilihat sebagai halangan untuk inovasi. Dalam budaya lokal, ada kebiasaan tertentu yang mengatur perilaku yang salah dan cara berpikir atau sikap yang mengutamakan perasaan yang tidak adil, menafikan, atau meminimalisir relevansi terhadap keadaan pada saat itu. Namun, setelah masa itu, penghargaan diungkapkan untuk budaya lokal, terutama ketika generasi baru penulis muncul pada tahun 1950-an, orientasi yang berbeda dari generasi sebelumnya-generasi baru dan generasi ke-45 (Rosidi 1995: 102).

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa budaya lokal, pandangan kedaerahan, atau apa pun istilahnya yang pada intinya mengacu atau bertalian dengan tradisionalitas pada era kesastraan modern Indonesia sebelum dan selama orde baru ditentang karena dianggap sebagai faktor penghambat "kemajuan". Dengan kata lain, budaya lokal dengan segala yang ada di dalamnya, terutama ada adat-istiadat yang mengatur perjodohan dan cara berpikir atau sikap yang mengutamakan rasa daripada nalar, digugat atau minimal dipertanyakan relevansinya dengan keadaan pada waktu itu. Namun, selepas zaman itu, penghargaan terhadap budaya lokal hadir, khususnya saat memasuki era 1950-an, yang ditandai oleh munculnya generasi penulis baru yang orientasinya berbeda dengan generasi sebelumnya---generasi Pujangga Baru dan Generasi 45.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun