Mohon tunggu...
Andi Nur Fitri
Andi Nur Fitri Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan swasta

Ibu dua orang anak, bekerja di sekretariat Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia Komisariat Wilayah VI (APEKSI Komwil VI)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penyambung Harapan

19 April 2019   18:24 Diperbarui: 19 April 2019   22:22 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengalaman lebih dari tiga belas tahun bekerja untuk Indonesia Timur, khususnya wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua, membuat saya semakin menyadari betapa bangsa ini sangatlah besar dan kaya. Tiga wilayah tersebut saja luasnya hampir separuh dari Indonesia.

Ketika masih di bangku SD, saya ingat saat oleh guru kelas diperintahkan untuk menghafal nama-nama propinsi di Indonesia, ibukotanya, sekaligus nama gubernurnya masing-masing. Saya adalah salah satu dari sekian banyak murid yang paling cepat menghafalnya...uhuuuk bukan riya ya...

Bagi mereka yang mengenyam pendidikan dasar tahun 1980-an, ketika ditanya tentang jumlah propinsi di Indonesia, maka kita pasti akan menjawab dengan lantang, 27 propinsi, yeaayyy. Tapi saat itu, hafalan hanyalah sekedar hafalan, saya belum pernah melihat sama sekali daerah-daerah di Timur Indonesia, kecuali melalui televisi pemersatu Indonesia, yang nama acaranya adalah Aneka Ria Anak Nusantara.

Melalui siaran ini, saya banyak melek, daerah lain di Indonesia selain Sulawesi Selatan, Makassar khususnya sebagai kota kelahiran saya, yang kala itu masih bernama Ujung Pandang. Qadarullaah kemudian membawa saya bekerja di bidang pemerintahan sejak september tahun 2005 yang awalnya bertugas sebagai information and communication officer. 

Bertugas untuk wilayah Timur Indonesia kemudian membimbing saya melengkapi perjalanan hidup dari satu provinsi ke provinsi lainnya di wilayah yang katanya "tertinggal". Stigma ketertinggalan kawasan Timur Indonesia dahulu bukanlah isapan jempol belaka. 

Bertugas dan berkeliling ke wilayah-wilayah terpencil di Timur Indonesia bahkan hingga ke perbatasan Papua Nugini membuat mata saya semakin terbuka, betapa ketimpangan sarana dan prasarana kehidupan memang terjadi dengan kawasan Barat Indonesia. Saya tentu tahu karena pernah mengenyam pendidikan di sebuah kabupaten di propinsi Jawa Barat, dan ketika liburan tiba, hobi saya adalah jalan-jalan menikmati pemandangan dan berpesiar ke kawasan pulau Jawa lainnya jika tidak pulang ke Makassar.

Kedua penitian hidup yang cukup kontras itulah yang menjadi cakrawala dan cara pandang saya terhadap Indonesia hingga saat ini. Untuk menceritakan detail mungkin sangatlah panjang, karena dalam rentetan tiga belas tahun tersebut, begitu banyak daerah yang telah saya datangi sebagai bagian dari tugas kantor sekaligus traveling...ya...katakanlah demikian...

Baiklah, saya akan mencoba mengisahkan beberapa cerita yang cukup berkesan saja. Tahun 2007 adalah perjalanan pertama saya ke provinsi Papua, tepatnya di Jayapura. Saat itu hanya ada satu hotel yang cukup representatif untuk kami tinggali, berada tepat berhadapan dengan salah satu swalayan terkenal namun tak banyak cabangnya hingga saat ini, Gelael.

Sepanjang perjalanan dari Bandara ke hotel tersebut, saya menyaksikan keindahan danau sentani yang belum semaju tahun 2018 kemarin ketika untuk ketiga kalinya saya bertugas ke Papua. Tahun 2007, meskipun ibukota propinsi, Jayapura adalah sebuah kota yang sepi. Pembangunan belum tampak mengarah ke daerah ini. Mungkin karena ia bukan prioritas, meskipun freeport ada dalam wilayah ini.

Masih di tahun 2007, saya sempat ke Tidore Kepulauan untuk pertama kalinya. Menaiki 'katinting', sebuah kapal laut yang sangat kecil, hanya menampung empat orang dan mesin manual yang harus dijaga, saya dan teman kantor berangkat dari pelabuhan Bastiong di kota Ternate. 

Jarak tempuh Ternate-Tidore memang hanya 20-30 menit, tetapi ombak yang menggulung di pantai bila hanya menggunakan katinting itu cukup terasa. Dan wow... pulau Tidore ini memang cantik, masih natural, tetapi denyut kehidupan seperti berhenti ketika pukul 14.00 WIT tiba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun