Mohon tunggu...
Andi Nur Fitri
Andi Nur Fitri Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan swasta

Ibu dua orang anak, bekerja di sekretariat Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia Komisariat Wilayah VI (APEKSI Komwil VI)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebaya Keanggunan RA Kartini dan Kebaya Heroisme Opu Dg Risaju

21 April 2018   05:58 Diperbarui: 21 April 2018   07:50 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketenaran RA Kartini sebagai pahlawan nasional memang tak terbantahkan. Pada 21 April setiap tahunnya, marak perayaan mengenangnya dengan berbagai cara. Kebaya yang dikenakannya menjadi simbol keanggunan dan kebangsawanannya. Meskipun darah bangsawan mengalir dalam dirinya, ia tetap gundah ketika perempuan tidak dapat berkiprah lebih luas.

Kartini terlahir dari seorang ibu dari kalangan kiai, M.A. Ngasirah dan Ayah yang manjabat sebagai Bupati Jepara kala itu, R.M. Sosroningrat. Ia beruntung karena sempat mengenyam pendidikan meskipun hanya sampai sekolah dasar. Setelahnya itu ia dipingit hingga usia layak menikah menghampiri. Dalam masa pingitan, Kartini remaja tetap berjuang, membaca buku-buku, mendirikan sekolah gratis bagi perempuan sebayanya dan menulis surat pada teman-temannya yang berada di Belanda.

Sejenak mari kita menengok sejarah Sulawesi Selatan, yang juga sebenarnya banyak melahirkan pejuang perempuan. Salah satunya adalah Opu Daeng Risaju. Ia lahir di daerah Luwu pada tahun 1880, hanya setahun setelah RA Kartini lahir. Pamajjah adalah nama masa kecilnya, namun ia lebih terkenal dengan nama lengkapnya Opu Daeng Risaju.

Risaju adalah putri dari pasangan Muhammad Abdullah To Bareseng dan Opu Daeng Mawellu. Opu Daeng Mawellu  adalah keturunan langsung dari La Makkasau Petta I Kera, putra dari Raja Bone XXII (1749-1775) La Temmasonge Matinroe Ri Malimongeng. 

La Temmasonge inilah yang menikah dengan Bau Habibah, putri dari Syekh Yusuf Tuanta' Salamaka' Ri Gowa, yang dikenal sebagai Bapak Demokrasi di Afrika Selatan. Dengan demikian, dari garis ayah dan ibunya, Risaju merupakan keturunan raja-raja dari kerajaan Tellumpoccoe Maraja atau tiga kerajaan utama di Sulawesi Selatan, yaitu Kedatuan Luwu, Gowa, dan Bone. (Ensiklopedi Sejarah Luwu, 2005)    

Risaju, Organisatoris dan Aktivis Murni

Sejak kecil, Risaju telah dididik dengan berbagai macam ilmu pengetahuan terutama menyangkut etika dan moral. Pada usia sekitar lima hingga sepuluh tahun ia dibekali dengan pendidikan agama secara intensif. Setelah pandai membaca alQuran, ia kemudian semakin memperdalam keagamaannya dengan mempelajari fiqih dari buku yang ditulis oleh Khatib Sulaeman Datuk Pattimang yang dibimbing langsung oleh ulama dan beberapa guru agama.

Selain fiqh, pengetahun tentang nahwu, sharaf, dan balaghah adalah dasar pelestraian ilmu-ilmu agama Islam yang lebih tinggi juga didalaminya. Dengan kemampuan baca tulis Arab yang dimilikinya, Risaju telah mempunyai dasar pengetahuan keagamaan yang kuat melebihi pendidikan umum yang dimilikinya. Risaju mengalami keterlambatan dalam mengenyam pendidikan formal karena sistem pendidikan modern (Barat) kala itu baru ada setelah Kedatuan Luwu  ditaklukkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Saat usianya beranjak remaja, ia menjalani kehidupan sebagaimana kebanyakan perempuan saat itu. Tak jauh berbeda dengan Kartini, dogma tentang perempuan yang tidak perlu menuntut ilmu lebih luas dan lebih tinggi juga dialaminya. Meskipun Risaju tidak terlalu cukup mendapatkan pendidikan formal, namun dengan ketekunannya, akhirnya ia dapat membaca dan menulis huruf latin.

Risaju diperkirakan menikah pada tahun 1905 atau awal 1906 dengan seorang ulama dari Bone, H. Muhammad Daud. Dari pernikahannya itulah, ia semakin berkesempatan untuk memperdalam ilmunya, terutama ilmu Al Quran. Sembari memperdalam ilmunya, ia dan suami kemudian menjadi anggota Sarekat Islam (SI) pada tahun 1927 setelah berkenalan dengan H. Muhammad Yahya, pendiri sekaligus ketua SI di Pare-pare. Dengan demikian Opu Daeng Risaju tercatat sebagai tokoh wanita pertama berasal dari kalangan bangsawan yang terlibat langsung dalam kancah perjuangan pada masa pergerakan nasional melalui Sarekat Islam sebagai kendaraan perjuangannya.

Melalui keterlibatannya di Sarekat Islam, Risaju kemudian tenggelam dalam perjuangan dan politik. Atas perjuangan keras dan lobi-lobinya, banyak cabang Sarekat Islam berdiri dengan nyawa perlawanan yang sama, anti penjajahan. Di tanah kelahirannya sendiri, Palopo, ia diangkat menjadi ketua pada tanggal 14 Januari 1930. Ia didapuk menjadi ketua, bukan karena tidak ada laki-laki yang memenuhi syarat, tetapi karena hanya Risaju yang memiliki tekad sekuat baja. Ia dengan tegas menghadapi segala resiko dari semua aktifitas Sarekat Islam yang sangat sering dianggap menganggu stabilitas kekuasaan Belanda. Selama berkecimpung di Sarekat Islam, ia harus rela keluar masuk penjara karena dianggap membangkang pada Belanda dan dituduh menghasut rakyat untuk melawan penjajahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun