Mohon tunggu...
Andi Nur Fitri
Andi Nur Fitri Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan swasta

Ibu dua orang anak, bekerja di sekretariat Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia Komisariat Wilayah VI (APEKSI Komwil VI)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Laksana Air

8 Maret 2018   13:24 Diperbarui: 8 Maret 2018   13:35 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mengajar perempuan mencintai

atau mengasihi serupa dengan

membimbing air mencari tempat yang rendah"

(Quraish Shihab)

Namanya Bau Rahima. Sebuah nama khas suku Bugis Makassar. Menurut pengakuannya, umurnya 40 tahun. Meskipun wajahnya nampak lebih tua dari usianya, namun semangat kerjanya tak terkalahkan oleh orang-orang yang usianya masih belasan ataupun dua puluhan tahun. Badannya tidak sekejap pun kelihatan letih, meski keringat telah mengucur di sela-sela dahinya yang mulai nampak keriput.

Perempuan paruh baya itu adalah saudara sepupu satu kali dari ibuku. Ibunya dan nenekku dari pihak ibuku adalah saudara kandung. Ia punya kebiasaan menghormati almarhum suaminya dengan cara yang aneh. Bagi orang kota, mungkin hal tersebut sulit diterima secara rasional. Terlebih bagi mereka yang berpegang adanya bid'ah (segala hal yang tidak pernah ada dasarnya untuk dilakukan dalam agama Islam. Menurut sebagian umat Islam, bid'ah hukumnya dapat menjadi haram) dalam aktifitas keagamaan.

Malam itu tepat tanggal 30 Ramadhan 1429 Hijriah. Dalam hitungan beberapa jam kemudian, fajar satu Syawal akan terbit. Sebulan telah kami lalui bersama dengan puasa Ramadhan. Dalam beberapa bulan terakhir, ia memang tinggal di rumah kami. Selain membantu kakakku mengurus bayinya yang berusia empat bulan, ia juga menjadi semacam perawat bagi ibuku yang sudah tak mampu berjalan karena serangan stroke sembilan tahun lalu. 

Saat maghrib, setelah berbuka puasa bersama, ia tiba-tiba mengeluarkan kalimat yang membuatku sedikit terkejut. "Saya mau minta kue lebaran mamamu dan kusajikan untuk almarhum suamiku" Sontak aku kaget mendengar pernyataannya. "Bukannya suaminya sudah meninggal?" tanyaku dalam hati. Namun aku berusaha menyembunyikan kekagetan itu dan kutinggalkan ia dalam diam untuk segera shalat maghrib.

Setelah shalat magrib ditambah dengan sunah rawatib dan sedikit dzikir, aku langsung menuju meja makan. Sambil menyantap makan malam, ingatanku tak jua lepas dari kalimat bibiku tadi. Ada perasaan tak tentu yang bergelayut dalam benakku. Hadir seutas tanya dalam pikiranku, kenapa ia mesti melakukan itu? Bukankah dengan doa yang dikhususkan untuk almarhum suaminya sudah cukup? Mengapa mesti membuat sesajen khusus untuk mengenang sang suami?

Ternyata kebiasaan menyiapkan sesajen bagi arwah suaminya dilakukan bibiku secara teratur. Ia tak peduli apa anggapan orang. Ia tetap saja melaksanakannya. Dengan hidangan sokko'(Makanan khas masyarakat Sulawesi Selatan yang terbuat dari beras ketan. Nama lain dari makanan tersebut adalah songkolo), pisang, telur, kue-kue dan air putih, semua makanan tersebut ditata rapi di atas sebuah nampan bundar dan diletakkan di sebuah kamar khusus yang jarang terjamah selain olehnya. 

Secara kontinyu, tradisi ini ia jaga dan sedikitnya dilakukan satu kali dalam sebulan. Setelah beberapa hari hidangan tersebut ditempatkan dalam sebuah kamar, ia dengan teliti memeriksanya dan membereskannya saat ia merasa bahwa hidangan tersebut telah berkurang ataupun berubah bentuk. Tentu saja ia meyakini bahwa arwah suaminya telah menyantapnya.  Pertanyaan demi pertanyaan yang terhampar di benakku, akhirnya kuurai sendiri. Tak mungkin menggali lebih dalam sebab ia melakukan itu. Selain karena jawabannya yang kemungkinan besar irasional, ia juga pasti akan menjawab sekenanya. Begitulah dia mengekspresikan cinta dan kesetiaannya kepada almarhum suaminya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun