Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang baru bagi mahasiswa untuk menyalurkan pendapat, berekspresi, bahkan mengkritik kebijakan kampus maupun pemerintah. Setiap unggahan bisa menjadi bentuk partisipasi sosial yang mencerminkan kepedulian generasi muda terhadap isu publik. Namun, di balik kebebasan itu, muncul persoalan serius yang jarang disadari: krisis etika dalam berpendapat. Banyak mahasiswa kini terjebak dalam budaya komentar tanpa tanggung jawab, menyebarkan opini tanpa dasar, atau bahkan menyerang pribadi orang lain hanya karena perbedaan pandangan.
Mahasiswa seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat dalam berpikir kritis dan beretika. Mereka dikenal sebagai kaum intelektual yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang dalam bersikap. Namun, realitas di media sosial sering menunjukkan hal sebaliknya. Tidak sedikit mahasiswa yang menggunakan kata-kata kasar saat menanggapi isu kampus, mem-bully sesama mahasiswa yang berbeda pandangan, atau menyebarkan informasi tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Ironisnya, semua itu dilakukan atas nama "kebebasan berekspresi".
Padahal, kebebasan berekspresi bukan berarti bebas tanpa batas. Dalam ruang publik digital, setiap pendapat membawa konsekuensi moral dan sosial. Etika berpendapat menuntut tanggung jawab dalam memilih kata, menghargai perbedaan, serta memastikan informasi yang dibagikan tidak menyesatkan. Jika kebebasan diartikan sebagai hak tanpa tanggung jawab, maka media sosial hanya akan menjadi arena konflik, bukan wadah pertukaran gagasan yang sehat.
Salah satu penyebab utama krisis etika ini adalah kurangnya kesadaran literasi digital di kalangan mahasiswa. Banyak yang mahir menggunakan teknologi, tetapi tidak memahami etika penggunaannya. Misalnya, ketika ada isu tentang kampus, mahasiswa sering kali langsung menulis opini tanpa memeriksa fakta, atau bahkan mengunggah tangkapan layar percakapan pribadi ke publik. Tindakan seperti ini bukan saja melanggar etika, tetapi juga dapat menciptakan konflik yang lebih luas dan mencoreng nama baik lembaga pendidikan.
Selain itu, budaya "viral" di media sosial turut mendorong mahasiswa untuk berbicara tanpa pikir panjang. Banyak yang lebih mengejar perhatian atau jumlah like daripada kebenaran dan kualitas argumen. Akibatnya, nilai intelektualitas yang seharusnya menjadi ciri khas mahasiswa terkikis oleh dorongan untuk tampil populer. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan kualitas diskursus publik dan membuat media sosial kehilangan fungsi edukatifnya.
Etika berpendapat sebenarnya tidak rumit. Ia berakar dari kesadaran sederhana: menghargai orang lain. Menyampaikan kritik boleh saja, bahkan penting, selama dilakukan dengan bahasa yang santun dan tujuan yang membangun. Mahasiswa perlu belajar membedakan antara kritik yang konstruktif dan ujaran kebencian. Dalam konteks kampus, misalnya, menyampaikan aspirasi lewat tulisan opini, diskusi terbuka, atau forum resmi jauh lebih bijak daripada saling serang di kolom komentar.
Pihak kampus pun memiliki peran besar dalam menumbuhkan budaya berpendapat yang sehat. Mata kuliah seperti Etika Komunikasi, Pendidikan Pancasila, dan Bahasa Indonesia dapat dijadikan wadah untuk mengajarkan pentingnya tanggung jawab dalam berkomunikasi di dunia maya. Selain itu, organisasi mahasiswa juga bisa menjadi ruang latihan bagi anggota untuk menyampaikan gagasan secara argumentatif dan santun, bukan emosional.
Akhirnya, media sosial seharusnya menjadi cermin peradaban, bukan panggung pertengkaran. Mahasiswa sebagai agen perubahan mesti menunjukkan bahwa kebebasan bisa berjalan beriringan dengan etika. Mengkritik tanpa mencaci, berbeda tanpa membenci --- itulah tanda kedewasaan intelektual yang sejati. Dunia digital membutuhkan lebih banyak suara yang cerdas, santun, dan berintegritas. Dan semestinya, suara itu datang dari para mahasiswa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI