Etika politik Pancasila merupakan fondasi moral dan mercusuar bagi seluruh gerak langkah penyelenggara negara di Indonesia. Lebih dari sekadar deretan pasal konstitusi, Pancasila menuntut setiap individu—dari pucuk eksekutif, palu yudikatif, hingga kursi legislatif—untuk berpolitik dengan kesadaran transenden, berlandaskan kemanusiaan, berjiwa persatuan, menjunjung kedaulatan rakyat, dan mengabdi pada keadilan sosial. Idealnya, etika ini mewujudkan lanskap politik yang jernih: kebijakan lahir dari musyawarah, anggaran dialokasikan untuk kesejahteraan kolektif, dan hukum ditegakkan tanpa tebang pilih, jauh dari noda korupsi, nepotisme, dan diskriminasi.
  Realitas politik, sayangnya, acap kali  menampar keras idealisme ini. Pertanyaan krusial pun muncul: apakah etika politik Pancasila ini benar-benar terimplementasi konkret, ataukah ia hanya menjadi hiasan retoris dalam setiap pidato dan janji kampanye? Kita kerap menyaksikan lobi-lobi senyap berujung kebijakan menguntungkan segelintir kelompok, penegakan hukum yang 'tajam ke bawah tumpul ke atas', atau manuver politik terang-terangan memecah belah persatuan demi ambisi kekuasaan. Kondisi demikian membuat etika politik Pancasila teruji di persimpangan jalan, dihadapkan pada jurang menganga antara narasi agung dan realita lapangan yang menyakitkan.
  Menilik judul "Kekuasaan Beretika: Ilusi Belaka?", pertanyaan ini bukan sekadar retorika kosong. Ini adalah cerminan kegelisahan mendalam, terutama dari sudut pandang mahasiswa sebagai agen perubahan dan kontrol sosial. Bagi para mahasiswa, etika politik Pancasila bukan sekadar kumpulan teori di bangku kuliah, melainkan desakan moral untuk melihat janji-janji konstitusi terwujud konkret dalam setiap tindakan pemimpin. Mereka, sebagai garda terdepan mengkritisi pemerintahan, menyaksikan langsung keputusan eksekutif yang terasa elitis dan jauh dari kebutuhan rakyat. Legislatif seringkali sibuk dengan tawar-menawar kepentingan partai atau pribadi, bukan murni memperjuangkan aspirasi konstituen. Terlebih lagi, sistem yudikatif yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, terkadang seolah tumpul saat berhadapan dengan individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan dan pengaruh.
  Ironisnya, janji-janji luhur dari sila-sila Pancasila sering berhadapan dengan realita korupsi yang tak kunjung usai, kebijakan yang masih memarjinalkan, polarisasi tajam, musyawarah yang hanya formalitas, dan kesenjangan sosial yang terus melebar. Kesenjangan antara regulasi penuh nilai dan praktik telanjang kepentingan. Hal ini mencerminkan bahwa etika politik Pancasila kerap tereduksi menjadi jargon hampa, sebuah idealisme yang terus diucapkan namun jarang sekali mewujud dalam denyut nadi kebijakan dan keputusan politik. Ketika praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi (KNK) terus menjadi borok, atau saat hukum diinterpretasikan bias dan diterapkan tidak adil, mahasiswa mulai mempertanyakan secara sinis: apakah etika benar-benar berfungsi sebagai kompas moral bagi pemegang kekuasaan? Atau, jangan-jangan, ia hanya menjadi ilusi yang dipelihara kolektif, sebuah topeng untuk menutupi borok sistem yang sebenarnya sudah kehilangan arah moralnya. Kegelisahan ini mengakar pada inkonsistensi antara idealisme bernegara yang digembar-gemborkan dengan praktik kekuasaan yang terasa sangat pragmatis dan sarat kepentingan. Oleh karena itu, opini kritis seperti ini menjadi semacam seruan bagi mahasiswa untuk terus mendesak akuntabilitas dan moralitas sejati dari pemegang tampuk kepemimpinan, menuntut agar etika politik Pancasila tidak berhenti pada level jargon, melainkan benar-benar menjelma menjadi laku dan kebijakan yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan rakyat.
  Mengingat jurang antara idealisme etika politik Pancasila dan realitas praktik kekuasaan yang mengecewakan, diperlukan langkah konkret dan terpadu. Penguatan pendidikan Pancasila, khususnya etika politiknya, harus diintensifkan sejak dini sebagai internalisasi nilai yang mendorong integritas dan anti-korupsi. Sistem pengawasan dan penegakan hukum perlu diperkuat independen, tanpa pandang bulu, untuk menciptakan efek jera dan menghilangkan impunitas. Ruang partisipasi publik, khususnya bagi mahasiswa dan masyarakat sipil, harus dibuka seluas-luasnya dan dijamin keamanannya sebagai penyeimbang kekuatan dan pendorong akuntabilitas. Partai politik dan organisasi kemasyarakatan dituntut melakukan reformasi internal serius, menekankan kaderisasi berbasis meritokrasi dan moralitas, bukan sekadar popularitas. Lebih dari itu, dibutuhkan keteladanan dari para pemimpin di setiap lini kekuasaan, karena etika tidak hanya diajarkan, tetapi juga dicontohkan.
  Secara keseluruhan, etika politik Pancasila, yang seharusnya menjadi fondasi moral bagi penyelenggaraan negara, kerap berhadapan dengan realitas praktik kekuasaan yang pragmatis. Inkonsistensi antara nilai-nilai luhur Pancasila dengan tindakan konkret para elit memicu kegelisahan. Korupsi yang masih merajalela, ketidakadilan dalam penegakan hukum, polarisasi yang memecah belah, serta partisipasi rakyat yang tereduksi, menguatkan pertanyaan kritis: apakah kekuasaan beretika hanyalah ilusi belaka? Jawabannya terletak pada kesungguhan kolektif untuk mengangkat Pancasila dari sekadar jargon menjadi laku nyata dalam setiap denyut nadi pemerintahan. Pada akhirnya, masa depan etika politik di Indonesia bergantung pada pilihan kita. Akankah kita membiarkan idealisme luhur Pancasila hanya menjadi narasi di atas kertas, ataukah kita berani menuntut dan mewujudkan kekuasaan yang benar-benar beretika, demi masa depan bangsa yang adil dan bermartabat? Untuk generasi cerah di masa mendatang, mari kita jadikan kegelisahan ini sebagai pemicu untuk terus berjuang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI