Sejarah psikologi terbagi dalam rentang waktu yang lama. Periode paling awal dari sejarah psikologi adalah pada zaman Yunani Kuno sebelum adanya penanggalan Masehi. Pada masa ini, psikologi masih menjadi bagian dari ilmu filsafat. Memasuki abad ke-5 hingga ke 6 Masehi, psikologi telah dihubungkan dengan dua teologi besar dari bangsa Yunani, yaitu Olympian dan Orfisme. Pada Abad Pertengahan, filsuf muslim seperti Al-Kindi mulai mengkaji tentang psikologi di dalam karya-karya tulisnya.Â
Sejarah psikologi kemudian berlanjut pada abad ke-17 hingga abad ke-18 dengan status psikologi masih sebagai wacana yang kemudian mulai diperdebatkan.
Perdebatan ini mengenai objek dan prosedur kajian yang layak dimasukkan sebagai bagian dari psikologi. Sejarah psikologi sebagai disiplin ilmiah yang terpisah dari filsafat dimulai pada akhir abad ke-19 dengan pendirian laboratorium psikologi yang pertama oleh Wilhelm Wundt di Leipzig, Jerman. Setelah menjadi disiplin ilmiah tersendiri, sejarah psikologi berlanjut ke spesialisasi yang kemudian memunculkan cabang-cabang keilmuannya.
Sejarah nama
Nama "psikologi" berasal dari bahasa Yunani. Penamaannya diperoleh dari dua kata, yaitu psyche dan logos.[1] Kata psyche berarti jiwa, sedangkan logos berarti ilmu.[2] Dalam pengertian ini, psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu tentang jiwa manusia.
SEBELUM MASEHI
Pada zaman Yunani Kuno, semua jenis ilmu dimasukkan sebagai bagian dari filsafat, termasuk psikologi. Ini dikarenakan para pemikir di masa Yunani Kuno menganggap filsafat sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Karenanya, psikologi menerima pengaruh yang kuat dari ilmu filsafat. Para ahli Yunani Kuno membahas psikologi utamanya mengenai hakikat jiwa dan gejala yang mencirikannya. Para ahli psikologi pada masa ini adalah para filsuf. Dua diantaranya adalah Plato (429--347 SM) dan Aristoteles (384--322 SM).[4] Setelah keruntuhan peradaban Yunani Kuno, kajian mengenai jiwa mulai dilupakan.[5].
Pemikiran Sokrates mengenai jiwa
Sokrates menghubungkan antara manusia dengan jiwanya melalui keyakinan bahwa inti dari kepribadian manusia adalah jiwanya. Ia meyakini bahwa jiwa bukanlah hanya pernapasan melainkan sesuatu yang lebih penting dari itu. Jiwa merupakan asas dari kehidupan manusia. Sokrates meyakini bahwa jiwa menjadi hakikat kedirian dari manusia. Jiwalah yang membuat manusia memiliki rasa tanggung jawab sebagai individu.[6]
Pemikiran Plato mengenai jiwa
Plato membagi jiwa manusia menjadi dua bagian, yaitu jiwa badaniah dan jiwa rohaniah. Ia menetapkan bahwa jiwa badaniah akan menghilang bersama dengan kerusakan tubuh manusia. Sementara jiwa rohaniah bersifat abadi sehingga tidak akan pernah berakhir. Plato menetapkan bahwa jenis jiwa tertinggi adalah jiwa rohaniah. Kematian atas jiwa rohaniah tidak akan pernah terjadi karena tumpuannya adalah rasio dan logika.[7].